Percakapan dengan Seorang Teman
Friday, April 06, 2007
“Kenapa sih kamu harus mengeluh terus?. Banyak yang lebih tidak beruntung darimu”
“Tapi salahkah aku berharap lebih dari perkawinan ini?. Semuanya sudah kuberikan. Masa gadisku, karierku, cita-citaku, harapanku, semuanya”
“Benarkah?. Benarkah tidak ada satu hal pun yang kau dapat dari perkawinanmu?.”
”Ya. Yang ada hanya lelah, capek dan jemu”
“Tapi kau seorang istri. Tidak banyak orang bisa mendapat berkah itu”
“Buat apa kalau itu hanya berarti merasa diri tidak nyaman dan selalu tertekan?”
“Tapi kau seorang ibu. Kau mempunyai dua orang anak yang sehat, sempurna dan cantik. Kau beruntung”
“Tapi tidak menjadikan hidupku lebih berharga”
“Kenapa kau selalu mengatakan semuanya untuk dirimu?. Ketidakberhargaan dirimu, tertekannya dirimu, capeknya dirimu, lelahnya dirimu. Apakah kau tidak pernah merasa itu tidak adil?”
“Dunia ini pun sudah tidak adil buatku. Tidak ada yang berpihak padaku. Tidak ada yang berpihak pada seorang perempuan”
“Iyakah?.”
“Tidak usah bertanya seperti itu. Coba kau tanyakan sendiri pada hatimu”
“Sudah. Seringkali. Tapi anehnya aku tidak pernah merasa itu semua adalah salah dunia.”
“Itulah kita perempuan. Kita menamakannya nasib”
“Satu pertanyaan penting, sebenarnya apa persisnya yang kamu inginkan dari hidupmu?”
“Aku cuma berharap bisa hidup tenang, menjadi diriku sendiri tanpa ada embel-embel lain yang memberatkanku”
“Tapi memang begitulah hidup. Tanpa menjadi seorang perempuan pun, hidup ini sudah berat”
"Ya enak saja kamu bicara begitu. Kamu punya suami yang baik, tidak pernah menuntutmu dan hidupmu berkecukupan”
“Itu kan cuma menurutmu saja. Pernahkah kau tanyakan sungguh-sungguh tentang masalahku?”
“Tanpa bertanya aku sudah tahu apa masalahmu. Paling hanya bingung menentukan warna karpet yang cocok untuk cat baru rumahmu setiap tahun”
“Sinis sekali kamu”
“Itulah kamu. Kamu terlalu naïf melihat dunia ini. Bagimu semua yang kamu jalani adalah suratan takdir”
“Bukankah itu jauh lebih meringankan diri?"
“Masa? Kamu jadi merasa cepat puas kan?. Tidak iri kamu melihat teman-teman kuliah kita dulu yang sudah jadi?”
“Maksudmu?”
“Kamu tidak iri melihat Ika, Riri, Evi, mereka sudah jauh meninggalkan kita”
“Maksudmu hanya karena mereka bekerja dan mempunyai penghasilan yang besar?”
“Ya”
“Mereka pasti punya masalah sendiri. Tidak ada orang yang bebas dari masalah”
“Tapi setidaknya mereka tidak harus berpegang pada kata nasib. Mereka bisa lebih bebas menentukan nasib mereka sendiri”
“Bukankah selama ini kamu sudah memilih?”
“Ya. Tapi aku merasa hanya menjadi seperti ini bukanlah pilihan terbaikku”
“Begitu pula dengan suami dan anak-anakmu?. Kamu merasa semua itu bukan yang terbaik buatmu?”
“Aku yakin bisa lebih baik dari sekarang”
“Misalnya seperti apa?”
“Aku yakin bisa menaklukan dunia”
“Caranya?”
“Aku mahasiswi pintar di kampus dulu. Lulus kuliah aku langsung bekerja. Tanpa menganggur lagi. Aku yakin bisa menjadi wanita karier yang berhasil sekaligus menjadi istri dan ibu yang baik”
“Kenapa kamu dulu tidak mewujudkannya?”
“Ya itulah salahnya dunia. Tidak adil pada perempuan.”
“Maksudmu kamu dipaksa harus memilih salah satu?”
“Ya. Dan baru kusadari sekarang kalau aku bisa menjalaninya berbarengan”
“Berarti itu memang pilihanmu?”
“Itu memang pilihanku. Tapi lebih adil kalau kita tidak usah disuruh memilih”
“Siapa yang dulu menyuruhmu memilih?”
“Tentu saja keadaan. Keadaan yang memaksa”
“Bukan hatimu sendiri yang menyuruhmu memilih?. Bukankah hidup ini memang pilihan?”
“Tapi aku ingin semuanya”
“Kalau begitu kenapa kamu harus tidak puas saat ini. Bukankah dunia sudah memberikan semuanya untukmu?”
“Pasti kamu mau bilang bahwa aku sudah memiliki suami, anak, keluarga, tapi kan hanya itu saja yang aku punya sekarang”
“Maksudmu kamu juga ingin jabatan, karier, dan uang?”
“Ya. Juga eksistensi diri, implementasi ilmu dan kepuasan batin”
“Hal-hal itu yang tidak kamu dapat selama ini?”
“Ya”
”Dengan kata lain perkawinanmu tidak bisa memberikan eksistensi diri atau kepuasan batin?”
“Ya begitulah.”
“Kenapa kau tidak berusaha mendapatkannya?”
“Aku memang tidak pernah mencoba karena aku harus memilih”
“Kalau begitu itu salahmu, bukan karena dunia tidak adil”
“Kenapa aku harus menyalahkan diriku karena tidak bisa mencapai sesuatu yang maksimal ?”
“Kamu kan tidak bisa menjalani keduanya”
“Aku hanya belum pernah mencoba”
“Tapi kamu sudah dewasa. Seharusnya kamu tahu apa yang kamu pilih. Dan itu tidak akan bisa selalu sesuai keinginanmu”
“Kenapa tidak?. Kulihat kamu selalu mendapatkan semua keinginanmu”
“Ah, yang benar? “
“Kamu bisa mendapatkan suami yang baik, anak yang cantik, rumah yang bagus, mobil yang bagus, keluarga yang harmonis. Iya kan?”
“Kamu yakin sekali kalau semua itu keinginanku”
“Karena kulihat kamu sudah puas dengan semuanya”
“Tapi itu bukan keinginanku. Itu adalah hadiah dari Tuhan buatku.”
“Berarti kamu mendapatkan lebih dari keinginanmu kan?. Kamu tidak harus memilih karenanya”
“Aku sudah memilih. Dan aku bahagia karena pilihanku. Oleh karena itulah Tuhan banyak memberi hadiah buatku karena aku bersyukur”
“Sekarang kita mau ke sSetiabudi atau ke toko buku ?”
“Nah, sekarang kita harus memilih kan?. Dan tampaknya kita memang harus memilih karena Jakarta sangat macet pada jam begini. Atau kamu pikir kita harus mencoba keduanya?. Boleh saja, tapi kamu yang beli bensinnya ya !”

Labels:

0 Comments:

Post a Comment

<< Home