Ayah Sayang Jeng
Friday, April 06, 2007

“Kenapa ya jeng, ayah sayang banget sama ajeng” begitu bisiknya tadi malam menjelang tidur. Kekasihku ini memang memanggilku ‘diajeng’ sebagai panggilan kesayangan. Tak tahu kenapa. Padahal kami berdua bukanlah orang Jawa, tapi aku senang dengan nama sayangku itu. Kesannya romantis dan lucu.

“Jeng juga sayang sama ayah.” Sahutku manja.

“Tapi ayah suka sedih kalo jeng marah-marah sama ayah” suamiku menarikku dalam pelukannya.Aku hanya tersenyum kecil mendengar kalimat terakhir itu. Hal inilah yang membuat aku sangat mencintainya. Tak pernah sekalipun dia menegurku secara langsung.
Selalu dengan kata-kata yang lembut dan tidak menyakitkan hati.

Kuingat kejadian kemarin sore, kejadian sepele sebenarnya. Sore itu suamiku sudah berjanji untuk pulang lebih awal karena ingin mengantarkanku kontrol kawat gigiku ke dokter gigi. Biasanya aku pergi sendirian untuk kontrol bulanan ini. Tapi aku dan suamiku ingin sekali makan kepiting di Telaga sepulang dari dokter gigi malam ini. Sepanjang pagi dan siang sudah terbayang-bayang nikmatnya kepiting saos padang seafood “Telaga” di kepalaku. Sudah lama rasanya aku tidak ke sana, sudah terbayang akan berpedas-pedas ria malam itu. Dulu waktu hamil Shabrina, sering sekali suamiku mengajakku ke seafood di kelapa gading. Tanpa nasi, aku bisa melahap satu porsi ikan gurame bakar sendirian. Aku memang ngidam seafood waktu hamil dulu. Satu porsi kerang dara dan cumi asam manis juga adalah favoritku. Wah, gembiranya aku hari itu.

Tiba-tiba saja menjelang sore ketika aku baru saja tiba di rumah dari menjemput Brina kursus lukis, suamiku menelepon mengatakan bahwa dia tidak bisa ikut pergi ke dokter gigi dan menyuruhku langsung kesana. “Nanti ayah jemput jeng di Depok, terus kita langsung aja ke Telaga. Ada meeting sore sebentar nih”, begitu janjinya. Tapi tunggu punya tunggu -setelah hampir satu jam bengong di ruang tunggu praktek dokter - janji itu pun dia batalkan karena ternyata meeting sore itu berlanjut sampai maghrib. Marahnya aku malam itu ditambah dengan pembatalan lewat sms membuatku cemberut ketika dia tiba di rumah. Memang sih, kulihat penyesalan di mukanya. Tapi karena sudah kadung terbayang lezatnya kepiting pedas membuatku tidak semudah itu memaafkannya.

“Ayah maunya kita sayang-sayangan aja kayak gini. Gak usah cemberut, marah-marah, atau ngomel-ngomel” kata suamiku lagi sambil mengelus-elus punggungku.

“Abis ayah bikin kesel sih. Harusnya ayah gak usah janji kemarin, jadi jeng gak kebayang-bayang enaknya kepiting. Ayah nyebelin” aku menjawab sambil pura-pura masih marah.

“Ayah sering bikin kesel jeng ya?. Maaf ya sayang, ayah gak bermaksud begitu kok. Emang ayah sering banget gak menepati janji sama jeng. Tapi itu karena terpaksa banget bukan disengaja”

“Maunya ayah, jeng harus gimana sih kalo ayah lagi bikin sebel kayak kemarin ?. Jadi jeng gak usah cemberut dan marah- marah lagi” kataku membuka diskusi. Kutarik tubuhku dari pelukannya dan menatap matanya siap untuk bertukar pendapat. Kulihat mukanya langsung berubah serius. Kutarik-tarik rambut ikalnya yang mirip sekali dengan rambut Shabrina.

“Jeng juga gak mau marah-marah sama ayah. Emang enak cemberut dan marah-marah ?. Capek hati, capek pikiran “ sambungku lagi. Senyumnya langsung mengembang mendengar perkataanku.

“Mmm, gimana ya ?. Kalo ayah maunya kita gak usah saling marah atau saling cemberut. Kita damai-damai aja.” Suamiku berjalan duduk ke pinggir tempat tidur. “Ayah juga sedih kalo ngeliat jeng marah-marah. Jeng kan udah capek ngurusin Shabrina dan rumah kita seharian, masa harus capek hati lagi sama ayah”

“Maksud ayah, jeng gak boleh marah dan kesel sama ayah gitu ?. Walau ayah salah, jeng harus senyum dan seneng aja gitu?.” Tentu saja aku bingung mendengar pernyataannya. Wah, gimana kalau tidak ada yang namanya perasaan marah di hati manusia. Menurutku Tuhan memberikan rasa marah sebagai penyeimbang rasa saling menyayangi. Ada marah ada sayang, ada cinta ada benci, ada suka ada duka, itu adalah dua sisi mata uang kehidupan.

“Bukan begitu maksud ayah, istriku sayang. Jeng boleh marah, boleh kesel tapi mungkin jeng juga harus mudah memaafkan. Jadi kesel dan marahnya gak harus berkepanjangan dan membuat jeng capek hati capek pikiran” dia menyahut sambil memandangiku. Aduhh, cintaku, batinku. Dalam sekali makna kalimatmu barusan. Kami akhiri obrolan malam itu dengan tidur saling berpelukan sampai pagi.

Mungkinkah bisa begitu mudah memaafkan ?. Mungkinkah memaafkan bisa menyembuhkan luka hati karena kecewa ?. Memaafkan yang seperti apa ?. Bukankah dengan orang lain marah ketika sedang kecewa pada kita membuat kita tahu bahwa kita sudah menyakiti hatinya?. Bukankah marah disini bisa diartikan sebagai suatu kontrol buat diri kita agar lebih berhati-hati dalam bersikap pada orang lain?.

Setelah kupikirkan baik-baik pagi ini, aku baru mengerti maksud tegurannya padaku. Mungkin aku memang harus mudah memaafkan, harus lebih berlapang hati dalam melihat kesalahan orang lain. Terutama bila yang bersalah itu adalah orang yang kita cintai. Yakin-lah bahwa mereka tidak akan pernah sengaja untuk menyakiti hati kita. Mana mungkin kita membuat menangis orang yang kita sayangi. Yang ada hanya kekhilafan mereka bukanlah kesalahan mereka. Dan sebagai orang yang saling menyayangi dan mencintai, kita pasti punya sejuta keranjang kata ‘maaf’ buat mereka. Tak akan pernah habis kata maaf itu dari hati kita. Memaafkan dan memaklumi adalah dua hal wajib dalam mencinta.

Susah memang untuk tetap memaafkan ketika kita marah atau dikecewakan oleh orang lain. Tapi sikap pemaaf adalah sikap yang selalu diambil oleh orang-orang besar sepanjang zaman untuk membuat derajat mereka lebih mulia dibanding orang lain. Mungkin kita harus memilah-milah hal-hal apa saja yang membuat kita marah pada orang lain. Mungkin kita sekarang harus bisa membedakan mana hal yang sepele dan mana hal yang prinsip. Sehingga kita tidak harus mudah marah dan kecewa pada hal-hal yang remeh temeh. Mungkin selama ini aku memang sudah banyak mengeluarkan energi hanya untuk marah dan kesal karena hal-hal sepele. Padahal banyak hal sepele di dunia ini. Dan tidak akan berubah hidup kita karena hal-hal sepele itu. Jadi kenapa harus diambil pusing ?.

Lagipula masih banyak kebaikan suamiku dibanding tingkahnya yang bikin kesal itu. Aku jatuh cinta padanya dulu karena dia selalu menerima aku apa adanya, tidak pernah menuntut di luar kemampuanku. Aku mabuk cinta padanya karena dia lemah lembut tidak pernah sekalipun dia berlaku keras padaku. Dia juga adalah ayah yang hebat buat anaknya. Tak banyak laki-laki yang mau ikut mengurus anaknya seperti dia. Dia juga selalu berlaku baik pada keluarga besarku, satu-satunya menantu yang bisa ngobrol panjang dengan wak Nasim yang sok tahu itu. Dia juga pintar mencari uang, syukur pada Tuhan kami tak pernah kekurangan materi selama ini. Dia juga ganteng, cerdas, hebat dalam bercinta. Dia juga….Ah, jadi kangen padanya ……..

Labels:

2 Comments:

At April 10, 2007 at 1:46 PM, Blogger arie said...

Gak nyangka...ternyata temen gw yg satu itu romantis jg :)

Salam buat Rais yah.

 
At April 12, 2007 at 3:41 PM, Blogger Campernik By Susan Boutique said...

bunda eva, suaminya kerja dimana ?
perasaan saya kenal tempat suami bunda eva di foto, dan kebetulan saya tinggal di tembagapura...ikut suami bun....

 

Post a Comment

<< Home