Keras Kepala-nya Eva
Friday, April 06, 2007

“Gaul dong, Va. Masa sampai sekarang penampilan kamu begitu-gitu aja. Jeans, kaos, bosen deh lihatnya. Aku kira setelah dua tahun kita gak ketemu, kamu bakal berubah.”. Loh, apa yang salah dengan penampilanku?. Aku merasa nyaman dengan jeans dan kaos seperti ini. Atau karena gaya pakaianku tidak pernah berubah sejak kuliah dulu ?. Mau diapakan lagi, aku tidak pernah punya cukup keberanian untuk memakai tanktop atau sejenisnya.

“Walau sekarang kita udah tidak seperti dulu lagi, kita harus trendy, Va. Jangan kalah sama cewek-cewek diluar sana. Bisa-bisa suami kita beralih pandangan deh. Liat nih aku. Kamu pasti pangling liat aku kan ?. Aku pengen kasih tahu pada dunia bahwa aku masih berjiwa muda”.

Suamiku?, Rais ?, akan mengalihkan pandangan dariku hanya karena seorang cewek centil berambut merah palsu dan berbaju ‘trendy’ ?. Tidak mungkin, batinku yakin.

“Va, Va, jangan diem aja. Kamu marah ya aku kritik begitu?” Aduh, si ibu satu ini. Rasanya dia lebih repot mengurus penampilan dan perasaan orang lain daripada berkaca sendiri. Tak tahukah dia bahwa sikapnya membuatku merasa bahwa dia sudah terlalu jauh mencampuri wilayah pribadiku yaitu kebebasanku.

“Emang menurut kamu, aku ini gak gaul ya?”

“Iya lah. Coba lihat, kamu tetap seperti Eva yang kukenal waktu kuliah dulu. Padahal kan, kamu sekarang sudah 31 tahun. Seharusnya kamu lebih merawat diri kamu.”

”Aku tidak terawat ?. Begitu maksudmu ?”

“Iya, Eva. Tidak terawat dan tidak menjadi lebih baik. Gimana sih kamu?”

Apa sih definisi ‘gaul’, ‘tidak terawat’ dan ‘menjadi lebih baik’ ?. Kalau saja tidak kuingat bahwa perempuan didepanku ini adalah sahabat lamaku pasti sudah dari tadi kuajak berdebat. Inilah kelemahanku. Aku terlalu lemah untuk mendebat pendapat orang lain, takut menyakiti hatinya. Apalagi ini kawan lamaku. Kurang gaul ?. Apa iya? Walau aku ‘hanya’ ibu rumah tangga, tapi aku aktif di berbagai kegiatan. Dari arisan komplek sampai anggota milis filatelis. Adu referensi tentang mode tas atau sepatu terbaru pun boleh. Atau mau tahu tentang proses pengadilan Saddam Husein, boleh coba diskusi denganku. Temanku juga banyak. Mulai dari tukang jamu langgananku sampai Pak Bram –sesama anggota milis penggemar suplir- yang partner pengacara Gani Djemat. Apalagi tidak terawat. Mungkin aku bukan ‘salon freak’ yang harus setiap dua minggu sekali creambath atau mani-pedi disana, tapi untuk urusan penampilan boleh periksa sekujur tubuhku. Memang sih, aku bukan tipe yang terlalu memprioritaskan penampilan, tapi aku bisa mempertahankan berat badanku di berat ideal. Aku ikut klub body language seminggu dua kali. Dan yang terpenting setiap tahun aku selalu general check up di rumah sakit. Aku dan suamiku juga rajin lari pagi tiap Sabtu dan Minggu. Dan selama ini tidak ada yang komplain tentang kulit wajahku. Walau tidak semulus dan seputih Tamara Blezinsky, tapi wajahku cukup manis dengan sedikit bekas-bekas jerawat yang memang susah dihilangkan. Dan menjadi lebih baik?. Ini yang memerlukan pemikiran mendalam. Aku yakin, saat ini masih banyak kekuranganku sebagai seorang istri dan seorang ibu. Terkadang aku masih suka ngambek ketika suamiku pulang terlambat. Atau sering juga aku merajuk ketika keinginanku untuk membeli baju baru harus tertunda. Aku juga sering meledak marah pada Shabrina ketika sabarku sudah habis. Atau aku pernah juga merasa malas dan bosan karena rutinitasku di rumah. Tapi aku sedang dalam proses menjadi lebih baik sekarang. Aku yakin itu. Karena aku merasakannya, aku tahu dengan pasti. Sekarang aku jauh lebih matang memandang hidup. Obsesiku terhadap uang juga berubah menjadi lebih bijak sekarang. Ketertarikanku dengan agama juga membuatku lebih tenang sekarang. Bisnis-ku juga berjalan baik. Walau sepertinya aku di rumah saja tapi boleh adu besar penghasilanku sebulan dengan seorang dokter gigi yang baru selesai PTT.

Apakah semua perubahan itu harus ditunjukkan secara fisik ?. Apakah kita harus merubah penampilan kita supaya orang lain tahu tentang perubahan kita ?. Atau mungkin yang dibicarakan sahabat lamaku ini sebatas perubahan fisik saja?.

“Maksudmu kamu tidak melihat penampilanku berubah dibandingkan dulu, begitukah?” tanyaku minta penjelasan.

“Eva sayang, ini bukan masalah penampilan saja. Yang namanya perubahan di dalam pasti akan terpancar ke luar lewat lahiriah kamu.” jawabnya sambil tersenyum. “Aku yakin, bahwa cara kamu memandang hidup saat ini pasti tidak jauh beda dengan Eva yang dulu. Yang selalu easy going, tidak memperdulikan pendapat orang dan cuek sama lingkungan. Benar kan?.” Sekali lagi aku terhenyak mendengar penilaiannya. Wah, ternyata seperti itulah dia menilaiku selama ini.

“Memang ada yang salah dengan hal itu ?. “ kataku kalem. Kulihat mata berlensakontak biru di depanku membelalak.

“Tidak ada yang salah sih. Tapi kamu bisa berubah menjadi lebih baik” katanya lugas.

Ternyata di balik kalimat- kalimat kritikannya ini dia menyimpan maksud tersembunyi dari hanya menegurku soal jeans dan kaos. Aku tidak tahu apa maksudnya. Tapi aku mencoba untuk mendengar dan menyelami maksud tegurannya. Tidak ada ruginya, pikirku.

“Dari dulu aku gak setuju kamu hanya di rumah saja, Va. Kamu kan sahabat dekatku di kampus. Seharusnya kamu bisa menjadi partnerku sekarang. Kita bisa buka klinik dimana-mana kalau kita kerja bareng.” katanya sambil menghela nafas. Kutatap tajam-tajam manik matanya mencari sesuatu disana. Tidak ada kebohongan disana, dia mengatakan yang sebenarnya. Akhirnya keluar juga ganjalan yang sebenarnya dari sekian banyak kritikan pedasnya padaku dari tadi.

"Coba kalau kamu ikuti jejak-ku. Mungkin kamu gak harus berkutat di rumah aja kayak sekarang. Gak bosen kamu ya Va ?" sambungnya lagi sambil memainkan kacamata di tangannya."Mana idealisme kamu dulu untuk menjadi wanita karier,Va. Membuat klinik untuk para kaum dhuafa, aku gak ngerti kenapa kamu berubah seperti ini"

“Mirna, aku ngerti kalau kamu kecewa sama aku. Kita memang selalu bersama sejak dulu. Tapi kamu dulu bilang, kamu bisa mengerti keputusan dan pilihanku. Kenapa kamu mengungkitnya lagi sekarang. Aku bahagia, Mir. Mungkin aku tidak akan pernah mewujudkan mimpi kita dulu untuk mempunyai jaringan klinik di mana-mana. Tapi aku menemukan kenyataan lain, Mir. Aku bisa menemukan kebahagiaan lain. Dan itu adalah keluargaku”. Keluar juga isi hatiku yang kupendam dari tadi. Entah kenapa, aku merasa bukanlah menjadi haknya untuk beranggapan bahwa hidupnya lebih baik dari aku dengan hanya dia bisa memakai jas blazer itu dan menaiki mobil mewah atas namanya sendiri.

“Tapi aku melihat kamu tidak berubah, Va.”

“Aku memang tidak harus berubah, Mir. Aku puas atas diriku. Tuhan sudah memberi banyak nikmat padaku. Tak ada yang bisa kulakukan selain bersyukur.”

“Manusia harus berubah untuk kehidupannya. Kalau tidak dia akan tertinggal oleh zaman.”

“Aku tidak mau berubah. Beginilah aku. Aku hanya ingin menjadi lebih baik.”

Mungkin memang benar katanya, aku cukup keras kepala untuk mengakui ada beberapa pendapatnya yang perlu kudengar. Mungkin memang benar usahaku kurang kuat untuk menjadi orang yang lebih baik, sehingga orang lain tidak melihat ada perbedaan pada diriku. Banyak yang harus kukoreksi dari diriku dan kehidupanku. Aku mengerti kalau dia tidak bermaksud menyakiti hatiku. Dia hanya memakai kacamatanya untuk melihat kehidupanku. Dan seperti katanya, aku memang tidak peduli apa kata orang tentang kehidupanku. Dia memang benar, aku memang agak keras kepala.

Labels:

1 Comments:

At February 15, 2008 at 9:48 PM, Anonymous Anonymous said...

kalau jaga penampilan memang perlu, bunda.

tapi kalo maksain mah sama juga gak tau diri ajah....

gak papalah bun, selama suami dan kita nyaman dengan diri kita kan :)

 

Post a Comment

<< Home