Obrolan kemarin malam
Saturday, April 21, 2007


Setiap anak itu unik. Kadang orang tua yang menginginkan anaknya persis seperti dirinya. Orang tua sering mempersepsikan dirinya kepada anaknya. Padahal mereka berbeda, walau sedarah mereka bukanlah satu individu yang sama. Bukan hanya memaksakan ‘menjadi’ kita, tapi harapan-harapan kita pun sering kita jejalkan pada anak-anak kita.

Begitu juga dengan aku. Aku yang selalu mandiri sejak kecil karena diasuh oleh pembantu, sangat risau melihat Shabrina yang selalu menempel padaku. Memang sih, keinginanku sendiri untuk mengurus Shabrina sejak bayi tanpa bantuan mbak atau baby sitter tapi sungguh aku tak menyangka bahwa ini menyebabkan anakku menjadi sulit berpisah denganku. Susah sekali untuk pergi meninggalkan Shabrina, walau aku pergi hanya sebentar.

Kepingin sekali kadang-kadang pergi sendiri sejenak melepaskan atribut ke-istri-an dan ke-bunda-an ku. Pingin sekali-kali menginap kumpul bareng teman-teman kuliah dulu, tapi sepertinya tak mungkin. Pernah dulu setahun lalu aku nekat pergi menginap ke Puncak dalam rangka reuni SMA-ku, baru 12 jam aku disana suamiku sudah menelponku mengabari bahwa tiba-tiba saja suhu badan Shabrina naik dan tidak mau makan bila tidak disuapi oleh bundanya. Sungguh berbeda 180 derajat denganku. Sejak TK, mama sudah sering pergi tugas keluar kota meninggalkan suami dan anak-anaknya karena pekerjaannya sebagai auditor. Dalam sebulan bisa sepuluh hari mama di luar daerah. Frekuensi tugas luar kota mama cukup sering dan selama itu meninggalkan anak-anaknya hanya bersama papa dan pembantu saja di rumah.

Rencananya akhir bulan ini aku dan tiga sahabatku berencana untuk melancong ke Lombok selama 2-3 hari. Kebetulan salah satu sahabatku berasal dari sana, pulang kampung sekalian jalan-jalan ngajak teman, katanya.

“Aduh sayang, gak mungkin banget dong. Nanti kan tante-tante semua yang ikut. Fira, Citra, Shasa tidak ada yang ikut mamanya kok.”
“Ya udah, bunda gak usah pergi aja”. Oalah, kok jadi aku yang harus batal pergi ?. Kutatap lagi mata bulatnya, ada kebingungan disana.
“Kalo bunda gak ada, nanti aku sama siapa ?”
“Kan ada ayah, sayang. Terus nenek, kakek dan tante Amel juga nemenin kamu di sini. Nanti bunda minta tante Amel ajakin kamu jalan deh”, bujukku.
“Ah, sama ayah gak asyik, bunda. Aku maunya sama bunda aja” Tambah susah nih kalo begini, pikirku.
“Bunda kan juga mau refreshing, cinta. Bunda pengen juga senang-senang sama temen-temen bunda”.
“Emang bunda sekarang gak seneng ya, bun ?. Ayah sama aku sering bikin bunda pusing ya?”
“Bukan begitu. Seperti kamu juga, sekali-kali kamu juga pengen kan sendirian di dalam kamar tanpa diganggu ayah dan bunda. Iya kan ?.”
“Aku gak ngerti. Kalo aku sendirian di kamar aku kan gak ninggalin siapa-siapa. Tapi kalo bunda ke Lombok, berarti bunda ninggalin ayah dan aku” Wah, salah analogi tadi, kataku dalam hati.
“Aku gak mau pergi sekolah sendiri, makan siang sendiri, tidur siang sendiri. Aku maunya ada bunda”
“Bunda ada terus di sini, nak. Bunda tidak meninggalkan kamu. Bunda cuma pergi sebentar”

Huih, seandainya aku bisa cerita bagaimana dulu neneknya sering sekali meninggalkan bundanya ini sendirian. Bukan sesuatu yang aneh untuk Eva kecil harus berangkat sekolah sendiri, harus belajar sendiri, harus makan malam sendiri. Memang mulanya akan terasa aneh, tapi toh akhirnya bundanya ini baik-baik saja sampai sekarang.

“Kalo bunda gak ada, sama siapa aku harus cerita ?” katanya lagi. Bingung aku. Sepertinya bidadari kecilku ini banyak temannya. Bahkan kata gurunya dia termasuk anak supel di kelasnya. Aduh nak, keluhku, zaman sudah cukup maju untuk hanya mempersoalkan jarak. Toh sekarang ada telepon, walau bundamu ini jauh kita masih bisa saling ngobrol.

“Aku gak bakal bisa tidur kalo gak dipeluk bunda dulu. Jangan pergi ya, bun?.” Kayaknya sudah mulai didramatisir nih, pikirku. Sepertinya aku harus mulai bicara logis dengannya.
“Shabrina, kamu sudah besar sekarang. Pasti bisa mengurus diri sendiri. Tidak harus mesti ada bunda”
“Tapi bun, aku kan masih TK, aku belum dewasa, Bun..”. Nah loh..Dia udah mulai ngomong tentang kedewasaan, hehehe....
"Bukan begitu maksud bunda, nak. Tapi tidak ada salahnya dua orang yang saling mencintai pun terpisah sekali-sekali"
“Maksud bunda?”
“Maksud bunda, Hidupmu akan terus berjalan walau tidak ada bunda di sampingmu. Semua akan berjalan baik-baik saja”

Perbincangan kami malam tadi tidak menemukan titik temu. Mungkin memang belum sampai kesana tingkat kemandirian anakku. Baginya aku masih sangat diperlukan sebagai penyemangat dan pemandu soraknya. Aku memang tidak bisa terlalu memaksakan proses ini. Biarlah secara perlahan kepercayaan diri anakku akan mekar berkembang dengan sendirinya. Biarlah waktu yang membuktikan bahwa walaupun bundanya tidak secara fisik ada di sampingnya tapi selalu ada menemani dalam hatinya. Mungkin dia masih terlalu takut untuk berjalan sendirian setelah sekian lama selalu berjalan bergandengan tangan denganku. Walau ada sisi hati yang merasa agak kecewa karena ketidakmengertian ini, ada sisi hati lain yang berbunga karena masih merasa dibutuhkan olehnya.

Sepertinya aku memang harus memperlambat langkahku karena ternyata Shabrina lebih lambat memaknai arti kata ‘perpisahan’ dibanding Eva kecil dulu. Tapi tentu saja, bukan berarti Eva dulu lebih baik dibanding Shabrina sekarang. Ini hanya masalah waktu. Waktu yang anak-anak kita butuhkan untuk terbang lepas dari orang tuanya. Dan sekali anak panah itu lepas dari busurnya, tidak akan pernah tahu kita ke arah mana dia akan berbelok.

Dan yang pasti, sepertinya batal juga refreshingku ke Lombok...hehehe

Labels:

0 Comments:

Post a Comment

<< Home