Pohon Petai Cina
Wednesday, April 11, 2007
(Pohon petai cina besar di depan rumahku ditebang hari ini. Dahannya yang biasanya menjulur kesana kemari bagai payung raksasa sekarang tak ada lagi. Semilir angin yang menimbulkan suara gemerisik pada daunnya juga tidak akan ada lagi. Kelelawar yang tidur bergantungan juga tidak akan ada lagi.)

Mengapa harus merusak sesuatu untuk sesuatu yang belum terjadi ?...

Aku ingat lima tahun lalu ketika pertama kali aku dan pak Rais memulai bisnis pertama kami suami-istri. Saat itu kami baru menikah dan mempunyai sedikit modal dari hasil uang angpau pesta pernikahan kami. Alih-alih membeli mebel atau men-DP mobil dari uang itu, langsung terlintas untuk membuka usaha yang bisa kami jalankan berdua sepertinya lebih "romantis" buat kami. Kami memulainya dengan meraba-raba. Melewati setiap rintangan dengan senyuman, melewati setiap belokan dengan penuh harap. Bahkan ketika akhirnya setelah 5 tahun usaha kami itu merugi dan harus ditutup, tetap saja semuanya ada hikmah dan pelajaran yang bisa kami ambil.

Memelihara sesuatu dari kecil, merintis sesuatu dari yang bukan apa-apa menjadi “something” adalah pekerjaan yang bukan main-main. Berawal dari tidak punya modal sama sekali atau dengan modal puluhan juta rupiah, tetap saja kita harus memulai langkah pertama dengan kesungguhan. Kebanyakan dari kita sering membayangkan mendapatkan langsung untung yang besar dari usaha kita. “Orang-orang hanya tahu keberhasilan saya saja. Mereka tidak pernah bertanya bagaimana ribuan kali saya jatuh” begitu kata Toyota, pemilik industri nomor satu di Jepang. Kita mungkin juga tidak pernah tahu bagaimana Kolonel Sanders yang sudah tua renta ribuan kali ditolak ketika menawarkan resep ayam gorengnya ke banyak restoran. Yang seringkali kita lihat dari keberhasilan seseorang hanyalah buahnya saja. Hasil yang diperoleh dari bertahun-tahun usaha dan berkali-kali jatuh juga merugi.

(Pohon petai cina itu yang membuat ku dulu jatuh cinta pada rumah ini. Kira-kira setahun lalu ketika pertama kali kulihat rumah biru ini, kehijauan dan kerindangan pohon petai cina besar itu yang sebenarnya menghangatkan hatiku. Sejuknya setiap hari ketika aku sedang berkutat di depan computer di pinggir jendela, entah untuk menjawab email atau hanya sekedar browsing, aku bisa melihat kegagahan dan keangkuhan pohon itu. Benar-benar makhluk Alloh yang indah.).

Alangkah enaknya memetik sesuatu dari hasil keringat sendiri. Sejak kecil aku selalu dibiasakan untuk menjual sesuatu dulu sebelum mendapatkan sesuatu. Pernah ketika mahasiswa, aku menitipkan gelas-gelas kecil pudding buah di kantin kampus, kadang aku titipkan juga mie goreng yang aku bungkus dalam plastic mika kecil. Semua itu kulakukan karena aku ingin sekali mempunyai sebuah HP. Terbayang berapa bulan aku harus mengumpulkan receh demi receh keuntungan ku setiap hari. Untuk membeli HP Siemens seharga Rp.300.000 (waktu itu tahun 1998) papa hanya memberi aku modal Rp. 20.000 yang harus aku putar untuk mendapatkan Rp. 300.000. Yang namanya merugi sering kali aku rasakan saat itu. Namanya jual makanan, kalau tidak laku ya tidak bisa dijual lagi untuk besoknya. Teruuus saja selangkah demi selangkah aku mengumpulkan uang, memasak pudding dan mie goreng di pagi buta sebelum pergi kuliah, membungkusinya satu persatu dengan penuh doa “Ya Alloh, semoga daganganku habis terjual hari ini..”

Jadi kalau sekarang pohon petai cina besar itu ditebang karena pengelola komplek takut rubuh ketika hujan angin itu sama saja dengan membunuh jiwa-jiwa di dalamnya. Jiwa yang sudah sekian lama menggantungkan hidup pada pohon besar itu, jiwa yang sudah sekian lama menjadikan pohon besar itu sebagai tempat tinggal, juga jiwa ku yang merasa teramat terluka melihat pohon itu roboh perlahan-lahan…

Itu sama saja dengan merusak sesuatu untuk sesuatu yang belum pasti terjadi… Apakah manusia memang tidak terbiasa untuk memelihara sesuatu, apakah manusia tidak pernah mnghargai sesuatu yang tumbuh dari kecil dan menjadi besar tanpa mengganggunya, apakah manusia memang tidak terbiasa untuk menghargai sesuatu sekecil apapun itu dengan pandangan kasih ?

(Wahai bapak yang merasa berkuasa, Kenapa tidak dipangkas saja dahan-dahan nya ?..Kenapa harus ditebang habis pohon besar-ku itu ?..)

Labels:

0 Comments:

Post a Comment

<< Home