Anak-anak
Tuesday, May 08, 2007
Bahkan dalam dunia nyata, hubungan seperti itu agak susah terjadi.

Empat orang wanita, dua berkulit sawo matang, dua yang lain bermata sipit dan berkulit putih bersih. Mereka duduk bersila saling berhadapan. Lutut bertemu lutut dengan tangan-tangan yang terkadang saling menepuk. Senyum dan tawa tak lepas dari keempatnya. Entah apa yang mereka bicarakan tapi raut muka mereka terlihat senang.

Di pojok lain duduk tiga orang wanita dengan komposisi yang agak ‘aneh’. Seorang wanita berumur, tangannya memegang erat rosarionya. Wanita kedua, berkerudung dan berbusana rapat. Seorang lagi wanita muda berkuncir panjang dengan busana sederhana. Sama seperti yang lain, walau mereka duduk bersisian tapi mata mereka saling menatap dan wajah mereka terlihat senang. Tak lama terdengar bel panjang berbunyi.

Anak-anak. Anak-anak lah yang bisa menyatukan semua perbedaan itu. Mereka adalah para orang tua. Demi anak-anak mereka, mereka mau menyingkirkan semua kesungkanan dan keengganan. Mereka bersatu bahu membahu saling tolong satu sama lain menciptakan lingkungan belajar yang baik untuk anaknya.

Demi anak-anak juga, para ibu mau kembali belajar. Tak peduli sudah berapa S yang mereka dapatkan dibelakang nama mereka, para ibu tadi mau dengan tekun mengikuti pelatihan, membayar mahal untuk belajar menjadi orang tua. Demi anak-anak juga, mereka mau melompat seperti kelinci bahkan menari tarian perang Indian. Mereka bersatu bahu membahu saling tolong satu sama lain membuat diri mereka menjadi orang tua yang lebih baik untuk anak-anaknya.

Anak. Tidak ada satupun yang lebih berharga bagi orang tua kecuali anak-anak mereka. Pada seorang anak nilai cinta dan pengorbanan lebur didalamnya. Pada seorang anak nilai ketulusan dan kesungguhan bersatu didalamnya.

Bagi sebagian orang, anak adalah karunia terbesar yang diberikan oleh Allah SWT kepada mereka. Sedangkan bagi sebagian orang lagi, anak adalah bencana terbesar buat mereka. Sehingga tidaklah heran ketika ada sepasang suami istri kenalan saya yang selalu dengan bangga memperkenalkan ketiga orang anak mereka sebagai kado terbesar dari Tuhan padahal ketiganya mengalami keterbelakangan mental. Sedangkan ada lagi di pojok Bekasi sana seorang anak membunuh ayah kandungnya gara-gara tidak dibelikan sepeda motor. Buat seorang Nuh AS, anaknya adalah penentangnya yang paling terdepan. Dan buat Muhammad SAW, anaknya adalah penghibur hati ketika orang lain membelakanginya.

Kita pun dulu juga seorang anak, punya orang tua. Sekarang kita adalah orang tua dan punya anak. Tapi seringkali kita lupa bagaimana menjadi anak. Memang ingatan kita sangat pendek. Kita bahkan tidak ingat lagi perasaan sedih kita dulu ketika sedang dimarahi. Mungkin memang karena kesalahan kita, tapi bukankah kita tidak sengaja melakukannya. Bukan maksud hati untuk menumpahkan Coca-cola ke karpet baru ibu kita, tapi karena tangan ini tidak sengaja menyenggol gelas. Bukan maksud hati untuk mendapatkan nilai jelek, tapi karena otak ini tidak senang pelajaran matematika. Kita lupa bahwa bukan kepala ini saja yang tertekuk ketika sedang dimarahi, tapi hati ini ikut tertekuk karenanya. Kita sudah lupa menjadi seorang anak.

Menjadi orang tua adalah suatu keterampilan yang harus dipelajari. Menjadi orang tua memerlukan energi yang besar. Dulu sebelum menikah, saya berpikir bahwa menyusui bayi itu gampang, naturally saja dan seringkali heran melihat teman-teman yang mengambil kursus menyusui dikala hamil. Tapi setengah jam setelah melahirkan, baru saya sadari bahwa menyusui bayi adalah sebuah hubungan, lebih kompleks dari sekedar memberikan susu. Dan tekhniknya pun ternyata harus dipelajari agar saya dan bayi saya sama-sama merasa nyaman. Bukan sekedar memasukkan mulut bayi ke puting kita. Ternyata ini sebuah keterampilan yang harus dipelajari.

Sebelum anak saya lahir, saya juga selalu berpikir bahwa Allah SWT sudah menganugerahi saya insting untuk menjadi orang tua buat anak saya. Buktinya Allah SWT sudah mempercayai saya untuk hamil. Pastilah saya bisa menjadi orang tua, pikir saya. Tapi baru setahun umur anak saya, saya baru menyadari bahwa anak saya adalah seseorang yang berbeda dari saya. Dia bukan saya. Dia punya keinginan sendiri, punya pilihannya sendiri. Bagaimana saya bisa memahaminya? Dia sama sekali berbeda dengan saya. Darimana saya tahu apa keinginannya, apa saja pilihannya? Ternyata saya harus belajar. Ternyata menjadi orang tua adalah sebuah keterampilan yang harus dipelajari.
Mungkin kita juga adalah orang yang berbeda dengan suami kita. Tapi kita sama-sama orang dewasa. Kita bisa saling bicara, mengkomunikasikan maksud dan tujuan kita. Mungkin walau kita berbeda tapi kita bisa duduk satu meja. Tapi bagaimana kita berunding dengan seorang anak bermata bulat yang baru berumur setahun?

Ternyata Allah SWT ‘hanya’ menganugerahi kita insting mencintai, menyayangi dan melindungi anak kita. Tapi ternyata menjadi orang tua tidaklah cukup hanya dengan bekal cinta, kasih sayang dan perlindungan. Allah SWT mengharuskan kita untuk cari tahu bagaimana kita bisa menjadikan kertas putih jiwa anak kita terisi dengan tinta warna-warni kebahagiaan. Mengharuskan kita mencari tahu bagaimana caranya kelak anak-anak kita menjadi seorang yang baik dan menyenangkan.

Mungkin kalau manusia adalah makhluk dengan ingatan jangka panjang, maka kita bisa bercermin dari pengalaman kita menjadi anak dulu. Dan tidak mengulangi perbuatan salah orang tua kita. Tapi masalahnya, manusia tidak seperti itu. Sesuai dengan fitrahnya, manusia selalu lupa. Oleh karena itulah saya menyadari bahwa saya mesti belajar. Belajar menjadi orang tua.

Menatap makhluk mungil didepan saya -rambutnya yang mirip ayahnya, mata dan hidungnya sudah pasti itu mirip saya- membuat saya kehilangan kata-kata. Apakah begini rasanya memiliki sesuatu yang sangat dicintai tapi tidak selamanya? Apakah begini rasanya mengira mempunyai sesuatu yang merupakan bagian diri ini tapi ternyata tidak ? Harus bagaimana saya kepadanya? Bisakah saya menjadi ibu yang baik baginya? Bisakah saya menjadi tauladannya? Bisakah saya selalu menjadi tempat pelariannya dikala ia sedih? Bisakah saya selalu jadi temannya? Bagaimana kalau ternyata saya kelak mengecewakannya?, menyakitinya?, membuat ia menangis? Bagaimana kalau saya tidak bisa membahagiakannya?

Saya mau berkorban apapun untuk dia. Saya mau lakukan apapun untuk dia. Dan saya tidak akan mau dibalas untuk semua pengorbanan dan semua perbuatan saya itu. Saya ikhlas, saya memang hidup untuknya. Anak-ku, bunda cinta padamu….

1 Comments:

At May 10, 2007 at 10:16 AM, Anonymous Anonymous said...

mba, tulisannya mengharukan sekali.
memang, sebagai manusia, suka lupa kalo dulu pernah jadi anak.
bila anak melakukan yang tidak berkenan dihati, lgs nada suara berubah, bentakan kadang2 tangan melayang ke tubuh kecilnya..
setelah itu, hanya ada penyesalan, telah melukai hati dan tubuhnya,...
padahal, tiap akan berangkat kerja, anak akan memeluk dng penuh perasaan, tidak ingin melepas tubuh bundanya, akhirnya telat deh ke kantor...
ah...jadi pingin pulang aja, di rumah bersamanya.

 

Post a Comment

<< Home