Ilusi Uang
Sunday, May 27, 2007
Uang memang tidak berbatas. Benar juga ungkapan yang bilang bahwa "99 jawaban dari 100 pertanyaan adalah uang".

Kebanyakan pangkal sebuah masalah adalah uang, begitu juga selalu akhir sebuah masalah juga karena uang. Rasa-rasanya tidak ada kata cukup untuk uang. Selalu kurang, bagai meminum air garam. Semakin diminum maka semakin haus kita, Semakin banyak uang maka semakin merasa kekurangan kita. Ada saja keinginan yang sepertinya belum terwujud. Dan untuk mewujudkannya kita perlu uang. Apakah karena tidak ada yang gratis di dunia ini ?. Benarkah semua harus ada harganya ?. Dan benarkah kita harus selalu membayarnya dengan uang ?.

Awalnya adalah ketika aku dan suamiku mencoba untuk menyusun anggaran per-tahun rumah tangga kami. Tradisi ini sudah kami mulai sejak awal pernikahan. Kami selalu menyusun rencana keuangan kami di awal tahun, mengira-ngira berapa besar pengeluaran dan mengira-ngira sumber pemasukan tambahan. Selalu ada yang kami ingin beli setiap tahun. Dan herannya kami juga harus memutar otak berpikir dimana kami harus mencari sumber dana tambahan untuk mewujudkan keinginan kami. Selalu begitu setiap tahun. Seperti tahun ini, kami merencanakan untuk menambah modal bisnis kami. Hitung punya hitung, ternyata besar juga dana yang diperlukan. Padahal ini hanya hitungan kasar saja, belum anggaran terperinci dari sebuah proses penambahan modal sebenarnya.

Sepertinya tidak terlalu banyak keinginan kami. Tapi kenapa selalu saja kurang uang kami ?. Apakah itu berarti keinginan kami semakin tahun semakin besar. Tidak juga. Tahun kedua sampai keempat pernikahan, kami menginginkan memiliki sebuah rumah. Tiga tahun kami menabung sampai akhirnya terkumpul uang muka pembelian rumah. Tahun keempat kami menabung untuk uang masuk Playgroup dan Taman Kanak-kanak Brina. Tahun kelima kami menginginkan mobil untuk alat transportasi kami, dan tahun keenam kami harus menabung untuk uang masuk Sekolah Dasar Brina. Tidak ada yang aneh dengan keinginan kami, cuma keinginan dasar sebuah rumah tangga.

“Kalau bisa kita jangan sampai mengambil uang tabungan ya, Jeng.” tegas suamiku. Terus darimana kami harus mengambil dana untuk menambah modal bisnis ku ?. Meminjam dari Bank ?. Ah tak mungkin, suku bunga bank sedang tinggi-tingginya sekarang. Herannya berapapun pemasukan yang kami dapat selalu kurang untuk pengeluaran plus keinginan kami. Padahal gaji yang diterima suamiku sekarang sudah berlipat kali lebih besar daripada gajinya di awal pernikahan kami dulu.

Sebenarnya masalah uang adalah masalah persepsi. Ada orang yang menyandarkan standard kecukupan dirinya dengan terpenuhinya semua keinginan. Tapi ada juga orang yang hanya menyandarkan standar kebahagiaan dirinya bila dia masih bisa makan hari ini dan cukup untuk bertahan hidup sampai esok hari. Ada juga yang bilang bahwa uang tidak bisa bohong. Dengan kata lain orang ini berpendapat bahwa bohong bila bisa bahagia kalau tidak ada uang. Mungkin ada benarnya dan ada salahnya.

Terus bagaimana dengan keluargaku, dengan aku dan suamiku? Apakah kami juga bersandar pada teori : bahagia berarti ada uang ?. Mungkin disini kami hanya berpikir logis saja. Keinginan kami hanya ingin mencukupi anak kami satu-satunya dengan segala daya upaya yang kami mampu. Kami ingin menyekolahkannya di sekolah terbaik, memberinya les dan kursus terbaik untuk menunjang bakatnya, ingin memberikannya pakaian terbaik, ingin memberikannya makanan terbaik dan ingin memberikannya tempat berlindung terbaik, ingin punya bisnis yang sehat dan bisa menghasilkan laba.... Dan tentu saja, semua itu perlu uang. Iya kan?. Tak dipungkiri lagi.

Tidak terbayang bila harus memberikan yang ‘biasa-biasa’ saja pada Shabrina. Kelak dia akan hidup di zaman yang serba maju, mungkin tak terbayangkan oleh generasi kita saat ini. Bagaimana dia bisa bertahan hidup bila dia ‘biasa-biasa’ saja ?. Apalah lagi untuk menyumbangkan sesuatu pada zamannya, pasti diperlukan kemampuan dan ketangguhan yang lebih dari kita sekarang. Tak apa bila kami yang orang tuanya harus mengalah demi dia. Shabrina adalah prioritas rumah tangga kami. Aku dan suamiku juga berangan-angan bisa mempunyai waktu lebih banyak dengan Shabrina. Suamiku juga tidak ingin bekerja seumur hidup, karena bekerja berarti tidak mempunyai banyak waktu untuk diri sendiri dan keluarga. Dari awal pernikahan, perlahan-lahan kami berdua mulai merintis bisnis kecil-kecilan dengan harapan akan menjadi berkembang nantinya. Dan rencana-rencana kami ini memerlukan uang.U-A-N-G.

Apakah benar untuk menjadi yang terbaik harus memerlukan uang ?. Nyatanya orang-orang dahulu yang bisa mencatatkan mencatatkan namanya dalam sejarah bukanlah orang-orang yang berkecukupan. Tekad dan semangat untuk maju yang membuat mereka bisa lebih unggul dibanding orang lain. Tapi kan zaman sekarang berbeda ?. Sekarang semuanya diukur dengan uang. Orang yang berhasil adalah orang yang berkelimpahan materi. Yang hidupnya tidak kekurangan. Atau mungkin ini yang berubah?. Mungkin bukan keinginan untuk memberikan yang terbaik pada anak-anak kita yang mengalami perubahan, karena toh orang-orang tua kita dulu juga menginginkannya. Juga mungkin bukan bagaimana bahagia itu diartikan yang berubah sekarang. Sama saja ‘bahagia” sekarang dan “bahagia” zaman dulu, masih berarti : selalu bersama dengan orang-orang yang kita cintai, di dekat mereka dan memberikan seluruh perhatian kita kepada mereka.

Yang berubah adalah cara pandang kita sendiri. Manusianya yang berubah.

Seharusnya sebagai manusia kita bisa menentukan mana yang tepat untuk kita. Tapi saat ini, di saat semua informasi begitu terbuka, dengan mudahnya kita bisa mengetahui bahwa cara pandang kita bukanlah mencerminkan diri kita sendiri. Cara pandang kita banyak dipengaruhi oleh orang lain, oleh persepsi diluar diri kita. Jadi ketika orang mempersepsikan A sebagai B maka dengan mudahnya kita menerima. Jadi ketika orang mengatakan bahwa untuk menjadi yang anak terbaik berarti harus dengan sekolah terbaik, kursus terbaik, makanan terbaik dan rumah terbaik- dimana semua ini berarti uang- maka kita pun seratus persen menerimanya. Kita menafikkan faktor peran serta orang tua si anak dalam mendidik, faktor lingkungan si anak dan yang terutama kita menafikkan faktor Tuhan. Begitu pula ketika orang mempersepsikan bahagia itu berarti bisa kumpul dengan keluarga tanpa bekerja sedangkan uang mengalir deras masuk ke kantong kita, maka kita pun mengiyakannya.

Padahal tanpa “uang yang mengalir deras ke kantong kita” pun kita akan bahagia kalau kita bisa selalu berkumpul dengan keluarga. Selalu ada embel-embel kata ‘uang’ yang menyertai kata ‘terbaik’ dan ‘bahagia’.

Bagaimana dengan berpikir logis ?. Kita sudah menjadi manusia-manusia yang diperbudak oleh akal. Tidak bisa diterima satu pendapat kalau tidak ada penjelasan logis diatasnya. Dan memang penjelasan logis untuk ‘terbaik’ dan ‘bahagia’ adalah UANG. Susah sekali kita berpikir diluar kerangka logis bila sudah dibenturkan kepada kepentingan orang-orang tercinta kita. Kita menyangka bahwa otak kita akan menemukan formula tepat untuk menyelesaikan masalah-masalah kita. Kita lupa bahwa kita sebenarnya punya hati. Dan uang bukanlah soal hati. Dan persoalan orang-orang tercinta kita berarti adalah persoalan hati kita. Tidak masalah kita punya uang atau tidak.

0 Comments:

Post a Comment

<< Home