Capek, Kuat dan Hati
Wednesday, August 13, 2008
3 hal yang sedang mendominasiku saat ini.

Aku tahu betapa masih panjangnya perjalanan ini. Beneran deh, ingin banget rasanya menemukan motivasi baru yang -mungkin- lebih menggairahkan dan membuat fun. Tapi setelah merenung, motivasi yang kupunyai sekaranglah yang paling masuk akal. Apakah aku harus mencari-cari sesuatu yang jauh diatas sana ?

Kalau dari dulu sampai sekarang, hidupku ini seperti air mengalir saja, perlahan kusadari bahwa aku juga memerlukan muara dari semuanya. Bukan bermaksud untuk menjadi seorang filsuf, aku tidak serumit itu, aku juga bukan orang yang serba menanyakan ini itu untuk sesuatu yang harus dihadapi, tapi mempertanyakan kemana akhirnya perjalanan ini berakhir aku pikir bisa memberiku semangat yang sekarang hampir meredup ini.

Aku juga sudah berusaha mencari variasi dalam hidup. Sepertinya sudah begitu banyak variasi yang aku punyai saat ini. Mulai dari pemuasan batiniah sampai pengungkapan identitas diri, semua sudah aku miliki sekarang.

Guru ku bilang, "Kamu terlalu menginginkan semuanya berjalan sempurna". Mungkin juga itulah penyebabnya. Sebagai orang yang membiasakan hidupnya mengalir, tuntutan-tuntutan yang ada pada diriku saat ini begitu membebani diri. Bagaimana tidak terbeban bila ada sepasang mata mungil menatap di sana dan sebuah cinta putih memintaku untuk berbuat yang terbaik ?

Aku juga bukan orang yang suka mencari pembenaran bila ternyata hidupku ini mengalir tidak sesuai dengan keinginan orang lain. Aku adalah orang yang cukup jujur untuk mengakui kesalahanku. Tapi bisakah aku berfikir seenteng itu bila yang menjadi taruhannya adalah masa depan buah cintaku sendiri ?

Mungkin sekarang aku harus lebih mengeraskan hati. Karena hatilah sumber segalanya.
SD IKIP, Mengungsi !
Friday, August 08, 2008
Sudah 1 pekan Shabrina mengungsi ke SD Rawamangun 13/14/15 dan SMP 74 pasca kebakaran SD IKIP. Dan karena numpang, mau tak mau harus masuk siang setelah siswa2 SD Rawamangun dan SMP 74 bubar sekolah.

Hari 1, adalah hari penuh kebingungan. Bisik2 tak senang yang ditujukan karena macetnya jalan di depan SD Rawamangun menebar di sana-sini. "Mentang-mentang anak orang kaya, seenaknya aja bikin macet di sekolahan kita", begitu celetukan seorang ortu murid SD Rawamangun. Saya hanya bisa tersenyum kepadanya. Duh, ibu, kami pun tak berharap seperti ini. Tapi ini musibah ya bu, bisa menimpa siapa saja dan kapan saja, semoga kita semua bisa saling berempati. Begitu sahutku dalam hati, walau sebenarnya tiada kata yang keluar dari mulut ini.

Pelajaran dibuka dengan dikumpulkannya anak-anak di lapangan. Ada pak Arief Rachman di sana, beliau sangat ngemong dengan mengatakan "Anak-anak, Apapun yang terjadi kalian harus tetap belajar !". mungkin ini adalah simpati paling baik yang pernah aku dengar menanggapi kejadian kebakaran ini.

Hari itu kami lalui dengan berbagai keluhan yang terlontar dari mulut para orang tua murid, mulai dari tidak nyamannya ruangan kelas yang tidak berkipas angin, jadwal les yang harus direschedule, jalanan yang macet di siang hari, dll. Tapi herannya anak-anak sepertinya tidak terpengaruh oleh pengungsian ini. Shabrina dan teman-teman tetap asyik berlari-lari bermain di lapangan. Apakah benar hanya orang tua yang membesar-besarkan hal ini ? Entah, aku sudah terlalu capek untuk memikirkannya :(

Kondisi WC nya memang agak jorok. Yah, 1 level berada di bawah WC di SD IKIP. Tapi yah begitulah WC SD Negeri pada umumnya, begitu pikirku. Aku pun mencarikan Brina alternatif lain untuk pipis di WC SMP 74 yang lebih bersih. Tapi menjelang istirahat, para penjaga sekolah SD IKIP menyikat, membersihkan dan menyiram karbol di WC SD itu. Cukup lumayan hasilnya..:)

Hari 2, hampir semua orang tua mengantar anaknya hari ini ke sekolah. Gosip yang mengatakan bahwa ada anak SD IKIP yang dipalak oleh SD Rawamangun menyeruak sejak semalam. Deringan telepon dan sms meributkan malam tadi. Dan aku terguncang ketika mengetahui ada kata 'pisau' di dalamnya. "Ada anak kelas 4 SD IKIP dipalak di kamar mandi dengan pisau oleh anak SD Rawamangun", begitu bunyi sms nya.

Kekhawatiran orang tua aku pikir sangat beralasan. Kesenjangan sosial itu memang begitu jauh. Aku tidak tahu apakah anak-anak usia SD bisa melihat sebuah kesenjangan. Melihat tidak tapi merasakan iya, begitu pendapatku. Memang dibandingkan siswa SD IKIP, anak-anak SD Rawamangun tingkat perekonomiannya berada jauh dibawahnya. Di mulai dari cara berpakaian, macetnya jalan di depan sekolah karena mobil-mobil para pengantar, HP yang mereka pegang dll.

Tapi terus terang, SD Rawamangun 13/14/15 dan SMP 74 ini tidaklah se'parah' katanya. Sekolahnya cukup bersih, anak-anaknya pun cukup ramah dan guru-gurunya juga sering tersenyum. Aku merasa seperti kembali pada puluhan tahun yang lalu ketika masih SD. Ini baru SD negeri yang normal. Apakah SD IKIP, SD Negeri kurang normal ? hehehehe...

Jajanannya mengingatkan aku pada jajanan masa SD dulu; makaroni asin, siomay 300-an/buah, burger 3000-an, aer aus, es kebo, cireng, cimol-cimolan, martabak mini dll. Puas kucicipi hari itu semua jajanan semi 'jorok' versi SD Negeri. Ahh, sepertinya semuanya baik-baik saja kok, mungkin aku yang terlalu khawatir dan tidak mensyukuri apa yang ada, inilah kesimpulan yang aku buat ketika sedang mengunyah cireng penuh saos. Aku menetapkan hati untuk menenangkan diri. Aku cuma gak pengen Brina menangkap kegelisahanku. Toh, dia baik-baik saja. Brina gak mengeluh dan tetap gembira setiap pergi sekolah. Semoga semua ini hanyalah adaptasi yang harus dijalani.

Hari ini juga datang surat dari komite sekolah SD IKIP yang ditandatangani oleh ketua komite sekolah SD IKIP, ibu Elva Waniza. Isinya permintaan sumbangan sukarela dari para ortu untuk membersihkan puing di SD IKIP, membayar penjaga malam di sana, dll, agar secepatnya bisa diadakan evaluasi dan uji kelayakan, apakah bangunan SD IKIP masih layak ditempati atau tidak.

Hari 3, adalah hari penuh kehebohan. Kekhawatiran orang tua akan keselamatan anak-anaknya di sekolah pengungsian ini ternyata tidak ditanggapi dengan baik oleh para guru. Aku melihat ini adalah perbedaan cara pandang saja. "Ibu cuma punya 2 anak, sedangkan kami harus mengurusi 800 anak", begitu tanggapan seorang guru SD IKIP ketika ada seorang ortu murid menyampaikan keluhannya tentang pemalakan ini.

Mungkin Pak guru, Bu guru, ini bukanlah sebuah cara yang simpatik untuk menanggapi sebuah keluhan. Tolong pahami bahwa kekhawatiran ortu murid pun beralasan. Kita sedang berada di tempat yang baru dengan kondisi yang baru juga. Sebaiknya tanggapan yang sinis dan tidak berempati jangan diperlihatkan dalam kondisi seperti ini. Begitu pula ortu murid sebaiknya percaya dengan para guru yang akan menjaga siswa-siswanya, anak-anak kita. Aku pikir 2 hal ini harus saling bersinergi sehingga tidak ada lagi salah tanggap seperti ini.

Kami para ortu murid juga mengumpulkan sumbangan sukarela yang dihimbau oleh komite sekolah SD IKIP. Tapi herannya, sore ketika anak-anak pulang mereka diberikan lagi surat himbauan dari komite sekolah untuk mengumpulkan sumbangan sukarela (LAGI) dan yang bikin ribut peruntukannya adalah untuk merenovasi lantai 1&2, membeli kursi+meja untuk 8 kelas @40 buah, membeli 50 unit komputer, membeli beberapa unit AC yang ikut terbakar, merehabilitasi lantai 3 yang terbakar, dll.

Walahhhhh, apa kita para ortu murid disuruh membangun sekolah lagi gitu ? Kalau memang kita sebagai ortu murid dihimbau untuk menalangi dana perbaikan sekolah, apakah nanti setelah turun dana dari Depdiknas untuk memperbaiki sekolah maka uang para ortu akan dikembalikan ?

Terus berapa banyak uang yang harus dikumpulkan oleh 878 ortu siswa untuk membangun kembali SD IKIP ? Apakah himbauan ini proporsional ? Yang jadi pertanyaan adalah apakah surat edaran dari komite sekolah SD IKIP ini diketahui oleh pihak sekolah ? Dan apakah memang harus ortu siswa yang bertanggung jawab atas pembangunan sekolah pasca kebakaran ?

Mungkin ini adalah akibat dari keresahan para ortu murid belakangan ini. Ketidaknyamanan akibat pemalakan yang terjadi ditangkap oleh komite sekolah untuk segera mengambil langkah agar kita segera pindah lagi ke SD IKIP.

Pendapatku, reaksi seperti yang dilakukan oleh komite sekolah amatlah naif. Bukan begini caranya, karena biar bagaimana pun kita adalah institusi birokrasi, kita adalah sekolah negeri dan memiliki cara yang 100% berbeda dari SMP/SMA Labschool dalam menangani masalah pasca kebakaran ini. Lagipula apakah sudah ada jaminan dari pihak terkait bahwa gedung sekolah kita sudah cukup aman ditempati kembali pasca kebakaran ini ?

Himbauan komite sekolah ini bisa menjadi kontraproduktif do kalanagan ortu siswa. Dan terbukti bisik-bisik yang beredar mengatakan bahwa para ortu tidak perlu menanggapi dengan serius surat yang kedua ini, lebih baik kami memprioritaskan diri untuk membuat anak-anak nyaman menghadapi perubahan jam sekolah ke siang hari ini.

Hari ke-4, para ortu sudah agak tenang. Bahkan ada beberapa ortu yang sudah pasrah akan musibah ini. Biar bagaimana pun memang kita tidak boleh memaksakan proses yang harus terjadi. Kita memang harus bersabar dan bersabar. Entah sampai kapan kita harus mengungsi seperti ini, tapi inilah proses dan kita harus mengikutinya.

Hari ini diwarnai dengan kabar bahwa sudah ada beberapa anak SD IKIP yang pindah sekolah. Mungkin memang semua ini ada alasannya. Bagaimana anak bisa belajar dengan tenang di saat seharusnya dia beristirahat ? Bagaimana anak bisa belajar dengan baik apabila dia ketakutan dipalak ? Bagaimana juga anak bisa belajar dengan tenang di dalam kelas yang panas ?

Tapi aku ingin mengajari Brina untuk menerima keadaan. Biar bagaimana pun ini adalah musibah, tiada satu pun yang mengharapkannya datang. Dan aku selalu berpendapat bahwa semua ini ada hikmahnya. Aku dan Rais yakin bahwa anak kami, Brina, adalah anak yang kuat dan tegar menghadapi masalah ini. Kami tidak mau membuat Brina berlari dari masalah. Ini adalah konsekwensi yang kami harus hadapi dari keputusan kami dulu.

Bukan karena kami tidak mempunyai pilihan. Toh yang namanya pilihan bisa diambil setiap saat. Tapi ini adalah mengenai menjalani dan melakukan. Ini pendapat kami !

Hari 5, sepertinya kami para ortu dan siswa sudah mulai santai menghadapi keadaan. Yah, memang tidak ada yang bisa dilakukan. Prioritas kita saat ini adalah anak-anak. Mereka sudah cukup berat menghadapi masalah ini. Mungkin yang mereka perlukan saat ini bukanlah kegelisahan dan kasak-kusuk kita, tapi ketenangan dan keyakinan bahwa kita ortunya akan selalu mendampingi mereka di masa yang berat ini.