Bangkrut !
Monday, April 30, 2007
Tahu rasanya terjatuh ?...Sakit sangat sakit... Apalagi bila kita jatuh ke dalam lobang yang tidak pernah kita sangka.

Begitupun yang namanya kebangkrutan. Wajar saja jika mengalami kebangkrutan karena yang namanya hidup pasti ada saatnya diatas dan ada saatnya berada dibawah. Tidak mudah untuk bangkit dari sebuah kejatuhan. Butuh jiwa besar untuk berkaca diri, "Apa sebenarnya salah saya ?", "Dimana sebenarnya salah saya ?"...Dan yang namanya menelanjangi diri di depan cermin bukanlah sesuatu yang enak untuk dinikmati. Melihat benjolan selulit disana-sini, melihat pinggul yang tidak seperti gitar lagi, melihat dada yang tidak indah lagi.. Huiih apa enaknya melihat satu persatu kejelekan diri sendiri ?

Tadi pagi, ketika aku membantu membenahi rumah seorang teman yang terpaksa harus dijual karena terlibat hutang. Bukan karena usahanya, bukan karena bisnisnya dia berhutang. Tapi karena gaya hidup yang tidak sesuai buat dirinya. Sedih, hanya itu kata yang melintas dalam kepalaku ketika satu persatu harta yang dulu dia sangka adalah aset buatnya dinaikkan ke atas truk. Ranjang besar dengan kasur springbednya, lemari besar 3 pintu, buffet besar tempat pajangan, furniture ruang tamu, 2 buah televisi, dan sebagainya, dan sebagainya...

Sedih... karena merupakan sebuah perjuangan buat aku dan suamiku membeli barang-barang seperti itu buat mengisi rumah kami. Tidak mudah seperti temanku, kami melewati satu perjuangan untuk mendapatkannya. Ingat kisah kami mengontrak di sebuah gang sempit di awal pernikahan kami. Ingat kosong melompongnya ruang tamu kami saat itu, ingat ketika harus memasak di kompor yang harus diletakkan begitu saja di atas lantai, ingat motor butut pertama kami, ingat ranjang ku semasa gadis yang terpaksa ku"pinjam" dari mama, ingat setiap detil bau got yang selalu menyertai hujan di gang sempit itu, ingat setiap keberisikan yang terjadi setiap malam karena banyak orang nongkrong di depan rumah kami, ingat setiap kernyitan tidak senang keluarga besar kami ketika harus datang ke rumah kami, ingat setiap perkataan sindiran dari mereka setiap menyinggung keadaan rumah kami. Semua ini kami jalani selama 5 tahun dalam 6,5 tahun umur pernikahan kami sekarang.

Tidak pernah sekalipun kami mengeluh apalagi mencoba untuk mencari jalan pintas keluar dari proses yang memang harus kami jalani ini. Kami berdua tahu dan sadar sekali, bahwa orang tua kami bukanlah orang berada yang bisa memberikan setumpuk warisan buat kami. Dengan kedua kaki kami, kami harus berdiri tegak dan mandiri menjalani hidup apapun yang terjadi.

Hidup memang sulit dan penuh liku. Tapi kami tidak pernah mau terjebak dalam sebuah kesemuan. Kami hidup semampu kami. Kami tidak mau berhutang. Itulah prinsip kami. Kenyataan bahwa kami baru mampu mengontrak rumah di sebuah gang sempit, kenyataan bahwa kami belum bisa "mengisi" perabot rumah kami, kenyataaan bahwa hanya motor butut yang baru mampu kami beli untuk menjadi kendaraan kami. Itulah kenyataan yang harus kami jalani hari demi hari. Tidak apa-apa, tidak masalah...Semua akan tiba waktunya..Itu saja yang kami yakini !...

Tadi pagi, melihat satu persatu barang-barang milik temanku pelan-pelan dinaikkan ke atas truk membuat aku tambah menyadari bahwa kita tidak akan memperoleh sesuatu bila memang belum tiba waktunya. Tidak akan ada gunanya kita mempersingkat proses itu, tidak akan ada gunanya kita mencoba berlari. Semuanya ada waktunya, dan semuanya akan terjadi ketika sudah saatnya.

Apa gunanya merengkuh sesuatu yang sebenarnya belum bisa terengkuh. Bisa-bisa terjerambab nanti. Apa gunanya mengejar sesuatu yang memang belum bisa kita raih. Bisa kecewa kita nanti.

Sekuntum bunga akan mekar pada waktunya, buah mangga akan matang bila sudah waktunya dan si kecil kita pun akan merangkak bila memang sudah waktunya. Semua hal di dunia mempunyai waktunya masing-masing, dan kita harus sabar serta berteguh hati melewati prosesnya.

Masih saja kupandangi rumah besar bertingkat dua bergaya minimalis yang akhirnya telah kosong itu, sebelum aku mengunci pintunya. Aku ucapkan salam perpisahan kepada siapapun makhluk yang ada didalamnya. Entah kemana si mantan pemilik rumah. Entah kemana perginya temanku itu. Mungkin dia sedang menyesali kesalahannya, mungkin dia sedang bercermin diri atau malah dia sedang berlari dari kenyataan. Yang aku tahu, dia tidak boleh mengulangi lagi kesalahannya. Dia harus belajar berani menghadapi kenyataan. Dia harus belajar bersabar dan sedikit perlahan menjalani hidupnya. Yang terpenting, dia harus belajar bahwa dia tidak boleh hidup dalam dunia yang tidak nyata. Jangan sekali-kali lagi !...
Obrolan kemarin malam
Saturday, April 21, 2007


Setiap anak itu unik. Kadang orang tua yang menginginkan anaknya persis seperti dirinya. Orang tua sering mempersepsikan dirinya kepada anaknya. Padahal mereka berbeda, walau sedarah mereka bukanlah satu individu yang sama. Bukan hanya memaksakan ‘menjadi’ kita, tapi harapan-harapan kita pun sering kita jejalkan pada anak-anak kita.

Begitu juga dengan aku. Aku yang selalu mandiri sejak kecil karena diasuh oleh pembantu, sangat risau melihat Shabrina yang selalu menempel padaku. Memang sih, keinginanku sendiri untuk mengurus Shabrina sejak bayi tanpa bantuan mbak atau baby sitter tapi sungguh aku tak menyangka bahwa ini menyebabkan anakku menjadi sulit berpisah denganku. Susah sekali untuk pergi meninggalkan Shabrina, walau aku pergi hanya sebentar.

Kepingin sekali kadang-kadang pergi sendiri sejenak melepaskan atribut ke-istri-an dan ke-bunda-an ku. Pingin sekali-kali menginap kumpul bareng teman-teman kuliah dulu, tapi sepertinya tak mungkin. Pernah dulu setahun lalu aku nekat pergi menginap ke Puncak dalam rangka reuni SMA-ku, baru 12 jam aku disana suamiku sudah menelponku mengabari bahwa tiba-tiba saja suhu badan Shabrina naik dan tidak mau makan bila tidak disuapi oleh bundanya. Sungguh berbeda 180 derajat denganku. Sejak TK, mama sudah sering pergi tugas keluar kota meninggalkan suami dan anak-anaknya karena pekerjaannya sebagai auditor. Dalam sebulan bisa sepuluh hari mama di luar daerah. Frekuensi tugas luar kota mama cukup sering dan selama itu meninggalkan anak-anaknya hanya bersama papa dan pembantu saja di rumah.

Rencananya akhir bulan ini aku dan tiga sahabatku berencana untuk melancong ke Lombok selama 2-3 hari. Kebetulan salah satu sahabatku berasal dari sana, pulang kampung sekalian jalan-jalan ngajak teman, katanya.

“Aduh sayang, gak mungkin banget dong. Nanti kan tante-tante semua yang ikut. Fira, Citra, Shasa tidak ada yang ikut mamanya kok.”
“Ya udah, bunda gak usah pergi aja”. Oalah, kok jadi aku yang harus batal pergi ?. Kutatap lagi mata bulatnya, ada kebingungan disana.
“Kalo bunda gak ada, nanti aku sama siapa ?”
“Kan ada ayah, sayang. Terus nenek, kakek dan tante Amel juga nemenin kamu di sini. Nanti bunda minta tante Amel ajakin kamu jalan deh”, bujukku.
“Ah, sama ayah gak asyik, bunda. Aku maunya sama bunda aja” Tambah susah nih kalo begini, pikirku.
“Bunda kan juga mau refreshing, cinta. Bunda pengen juga senang-senang sama temen-temen bunda”.
“Emang bunda sekarang gak seneng ya, bun ?. Ayah sama aku sering bikin bunda pusing ya?”
“Bukan begitu. Seperti kamu juga, sekali-kali kamu juga pengen kan sendirian di dalam kamar tanpa diganggu ayah dan bunda. Iya kan ?.”
“Aku gak ngerti. Kalo aku sendirian di kamar aku kan gak ninggalin siapa-siapa. Tapi kalo bunda ke Lombok, berarti bunda ninggalin ayah dan aku” Wah, salah analogi tadi, kataku dalam hati.
“Aku gak mau pergi sekolah sendiri, makan siang sendiri, tidur siang sendiri. Aku maunya ada bunda”
“Bunda ada terus di sini, nak. Bunda tidak meninggalkan kamu. Bunda cuma pergi sebentar”

Huih, seandainya aku bisa cerita bagaimana dulu neneknya sering sekali meninggalkan bundanya ini sendirian. Bukan sesuatu yang aneh untuk Eva kecil harus berangkat sekolah sendiri, harus belajar sendiri, harus makan malam sendiri. Memang mulanya akan terasa aneh, tapi toh akhirnya bundanya ini baik-baik saja sampai sekarang.

“Kalo bunda gak ada, sama siapa aku harus cerita ?” katanya lagi. Bingung aku. Sepertinya bidadari kecilku ini banyak temannya. Bahkan kata gurunya dia termasuk anak supel di kelasnya. Aduh nak, keluhku, zaman sudah cukup maju untuk hanya mempersoalkan jarak. Toh sekarang ada telepon, walau bundamu ini jauh kita masih bisa saling ngobrol.

“Aku gak bakal bisa tidur kalo gak dipeluk bunda dulu. Jangan pergi ya, bun?.” Kayaknya sudah mulai didramatisir nih, pikirku. Sepertinya aku harus mulai bicara logis dengannya.
“Shabrina, kamu sudah besar sekarang. Pasti bisa mengurus diri sendiri. Tidak harus mesti ada bunda”
“Tapi bun, aku kan masih TK, aku belum dewasa, Bun..”. Nah loh..Dia udah mulai ngomong tentang kedewasaan, hehehe....
"Bukan begitu maksud bunda, nak. Tapi tidak ada salahnya dua orang yang saling mencintai pun terpisah sekali-sekali"
“Maksud bunda?”
“Maksud bunda, Hidupmu akan terus berjalan walau tidak ada bunda di sampingmu. Semua akan berjalan baik-baik saja”

Perbincangan kami malam tadi tidak menemukan titik temu. Mungkin memang belum sampai kesana tingkat kemandirian anakku. Baginya aku masih sangat diperlukan sebagai penyemangat dan pemandu soraknya. Aku memang tidak bisa terlalu memaksakan proses ini. Biarlah secara perlahan kepercayaan diri anakku akan mekar berkembang dengan sendirinya. Biarlah waktu yang membuktikan bahwa walaupun bundanya tidak secara fisik ada di sampingnya tapi selalu ada menemani dalam hatinya. Mungkin dia masih terlalu takut untuk berjalan sendirian setelah sekian lama selalu berjalan bergandengan tangan denganku. Walau ada sisi hati yang merasa agak kecewa karena ketidakmengertian ini, ada sisi hati lain yang berbunga karena masih merasa dibutuhkan olehnya.

Sepertinya aku memang harus memperlambat langkahku karena ternyata Shabrina lebih lambat memaknai arti kata ‘perpisahan’ dibanding Eva kecil dulu. Tapi tentu saja, bukan berarti Eva dulu lebih baik dibanding Shabrina sekarang. Ini hanya masalah waktu. Waktu yang anak-anak kita butuhkan untuk terbang lepas dari orang tuanya. Dan sekali anak panah itu lepas dari busurnya, tidak akan pernah tahu kita ke arah mana dia akan berbelok.

Dan yang pasti, sepertinya batal juga refreshingku ke Lombok...hehehe

Labels:

Bisnisku, Cintaku
Wednesday, April 18, 2007
Mengelola bisnis sendiri buat seorang perempuan adalah bagaikan memelihara cinta. Butuh pengorbanan, ketelatenan, kesabaran dan yang terpenting butuh konsistensi. Sungguh, terkadang kita sering salah mengartikan bisnis yang kita lakukan saat ini hanya sekedar ajang mencari uang. Yah, siapa yang tidak butuh uang saat ini. Mungkin sebagai seorang perempuan kita senang menjadi seorang ibu, menjadi seorang istri yang senantiasa berada di samping suami dan anak-anak. Tapi menghasilkan uang adalah sebuah pencapaian tersendiri karena dengan bisa menghasilkan uang maka ada nilai kemandirian dan harga diri disana. Apalagi kalau kita bisa juga sekaligus membantu keuangan keluarga. Tapi tidak lantas uang-lah yang menjadi tujuan utama kita dalam memulai bisnis.

Benar, memulai sesuatu haruslah karena cinta. Memulai sesuatu lebih bagus bila karena ada ketertarikan di sana. Begitu pun dengan memulai sebuah bisnis. Aku teringat ketertarikan pada bisnis konsultasi nutrisi yang sekarang aku jalani berawal dari adanya ikatan emosi dengan produk nutrisi ini. Sebuah program diet yang berhasil mengubah hidup ku 180 derajat. Kondisi kegemukan yang dulu aku kira merupakan takdir karena keturunan, kondisi kegemukan yang dulu aku kira adalah suatu hal yang wajar karena sudah melahirkan dan proses menyusui selama 1 tahun, kondisi kegemukan yang dulu aku kira merupakan suatu hal yang wajar buat pemakai kontrasepsi. Dan pandangan ini langsung sirna ketika diri ini berhasil menurunkan berat badan melalui program nutrisi ini. Itulah awal semuanya.

Di bilangan Jakarta Selatan sana, ada sebuah rumah makan khas Betawi yang menyajikan makanan asli Betawi yaitu Pucung Lele dan Gabus. Rumah makan ini hanya buka mulai pukul 10.00 sampai 14.00 dan rumah makan ini tidak memiliki cabang dimanapun. Penampilan rumah makan itu tidak bagus, bahkan cenderung sederhana berada di sebuah pinggir jalan. Tak ada papan nama besar terpasang di depan rumah makan itu, tapi saat makan siang kita bisa melihat pelanggan harus antri untuk mendapatkan kursi. Pak Haji yang merupakan pemilik rumah makan menyapa langsung para pelanggannya sambil tersenyum rendah hati. Di pundaknya tersampir lap untuk mengelap meja yang baru saja ditinggalkan oleh pelanggannya. Sambil tertawa-tawa, si Pak Haji bisa memperbincangkan segala hal dengan pelanggannya, mulai dari pertandingan sepak bola tadi malam sampai kurs dolar yang naik turun. Sedangkan sang istri sibuk melayani pembeli di belakang etalase. Tapi jangan main-main dengan omsetnya, dalam sehari Pak dan Bu Haji bisa mengantongi omset Rp.5-6 juta. Coba hitung kira-kira berapa keuntungan bersih mereka di bisnis makanan yang notabene bisnis ini bisa menghasilkan laba 20%-40%. Yang istimewanya, di teras rumah makan itu tersedia puluhan tandan pisang yang bisa diambil gratis oleh para pengunjung ketika mereka pulang.

Mungkin sekilas, model usaha Pak Haji ini tidak memenuhi syarat sebuah bisnis modern yang memang sangat ”mengagungkan” sistem. Padahal kalau saja Pak Haji mau bisa saja beliau membuka cabang di tempat lain dengan sistem franchise misalnya. Tapi kenapa tidak dia lakukan hal ini ?. Dari wawancara singkat dengan beliau, Pak Haji dengan lugunya mengakui bahwa dia tidak mengerti cara mengelola cabang di tempat lain. Beliau hanya tahu bahwa dengan berdagang makanan betawi ini dia bisa menyelamatkan budaya betawi yang sudah terpinggirkan sekarang. Terlihat bahwa pak Haji begitu sangat mencintai budaya nenek luhurnya ini. Dengan hanya memiliki satu cabang di depan rumahnya ini, dia bisa menyapa satu persatu langganannya. Dan bukti kecintaan beliau pada bisnisnya ini tergambar dari cara beliau menangani pemilihan setiap ikan untuk masakan pucung nya. Dia pilih satu persatu ikan yang akan dimasak dari pemasok yang sudah dia percayai bertahun-tahun. Menurutnya setiap pelanggan rumah makannya harus mendapatkan ikan yang sama kesegaran, ukuran dan besarnya. Luar biasa !

Ketika kita melakukan sesuatu dengan cinta, maka otomatis akan terpancar keluar hasilnya. Orang akan lebih nyaman berada dekat kita, orang akan merasa lebih terbuka, lebih maklum pada setiap kekurangan kita. Begitu pula dengan bisnis kita. Ketika kita membuat sebuah kalung manik dengan cinta, di sela pembuatannya mungkin kita bisa bayangkan bahwa si pemakai pasti akan bertambah cantik bila mengenakan kalung ini. Pasti berbeda hasilnya dengan kalung hasil kerajinan massal.

Bagaimana kita menemukan bisnis yang kita cintai? Mulailah dengan mengenal diri sendiri terlebih dahulu. Apa sih ketertarikan saya sebagai seorang perempuan, apakah saya senang dengan anak-anak, senang mengajari orang lain, senang dengan pendidikan ? Ataukah saya senang berbagi, senang memecahkan masalah orang lain , senang dengan kata „mengelola“ ? Dari sinilah kita bisa memupuk rasa cinta kita dengan memfokuskan bisnis kita pada ketertarikan yang kita miliki. Pernah dengar, ada seorang ibu di California yang membuat website tentang ”bagaimana memilih nama buat anjing anda ?” dan ternyata bisa mendulang ribuan dollar dari websitenya itu?. Ibu ini senang dengan makna di belakang setiap nama dan dia tahu bahwa jutaan orang di seluruh dunia mempunyai anjing peliharaan- yang pasti membutuhkan nama !. Robert T.Kiyosaki juga adalah seorang pengusaha yang mengembangkan bisnisnya dari kecintaannya mengajarkan sesuatu untuk orang lain. Dengan kecintaan nya mengajar itu, Kiyosaki bisa membuat bisnis penerbitan buku, bisnis pelatihan kewirausahaan, bahkan bisnis properti.

Cinta juga yang bisa membuat kita cepat bangkit dari keterpurukan. Apabila suatu hari, bisnis kita mengalami kebangkrutan maka lebih mudah untuk bangkit bila kita mencintainya.

Lakukanlah bisnis kita dengan satu gairah yang paling mendasar dari dalam diri kita. Jangan pernah melakukan sesuatu karena hal-hal lain di luar diri kita. Karena sebagaimana hidup, maka bisnis kita pun memerlukan pupuk yang berasal dari cinta dan kasih sayang kita. Sebuah pemikiran sederhana bahwa cinta akan menghasilkan kekuatan bisa mendasari kita juga untuk menetapkan hati pada sebuah bisnis. Tidak melulu hanya uang dan kekayaan yang kita cari di dunia ini. Tapi rasa puas karena bisa menolong orang lain, rasa puas karena bisa membuat orang lain sejahtera, sangat sangat lebih berarti dibanding uang.
Buat Seorang Pria
Monday, April 16, 2007

Ya Rabbi….

Aku berdoa untuk seorang pria, yang menjadi bagian dari hidupku
Seorang pria yang sungguh mencintai Mu lebih dari segala sesuatu

Seorang pria yang akan meletakkan ku pada posisi kedua dihatinya setelah Engkau
Seorang pria yang hidup bukan untuk dirinya sendiri tetapi untuk MU

Seorang pria yang mempunyai sebuah hati yang sungguh mencintai dan haus akan Engkau
Dan memiliki keinginan untuk meneladani sifat-sifat Agung Mu

Seorang pria yang mengetahui bagi siapa dan untuk apa ia hidup, sehingga hidupnya tidaklah sia-sia
Seorang pria yang mempunyai hati yang bijak bukan hanya sekedar otak yang cerdas

Seorang pria yang tidak hanya mencintai ku tetapi juga menghormatiku
Seorang pria yang tidak hanya memuja ku tapi dapat juga menasehatiku ketika aku berbuat salah
Seorang pria yang mencintaiku bukan karena kecantikanku tetapi karena hatiku

Seorang pria yang dapat menjadi sahabat terbaikku dalam tiap waktu dan situasi
Seorang pria yang dapat membuatku merasa sebagai seorang wanita ketika berada di sebelahnya

Seorang pria yang membutuhkan dukunganku sebagai peneguhnya
Seorang pria yang membutuhkan doaku untuk kehidupannya
Seorang pria yang membutuhkan senyumanku untuk mengatasi kesedihannya
Seorang pria yang membutuhkan diriku untuk membuat hidupnya menjadi sempurna.

Dan aku juga meminta ….

Buatlah aku menjadi seorang perempuan yang dapat membuat pria itu bangga
Berikan aku sebuah hati yang sungguh mencintai Mu, sehingga aku dapat mencintainya dengan cinta Mu, bukan mencintainya dengan sekedar cintaku.

Berikanlah sifat Mu yang lembut sehingga kecantikanku datang dari Mu bukan dari luar diriku
Berikanlah aku tangan Mu sehingga aku selalu mampu berdoa untuknya

Berikanlah aku penglihatan Mu sehingga aku dapat melihat banyak hal baik dalam dirinya bukan hal buruk saja.
Berikanlah aku mulut Mu yang penuh dengan kata-kata kebijaksanaan Mu dan pemberi semangat, sehingga aku dapat mendukungnya setiap hari, dan aku dapat tersenyum padanya setiap pagi

Dan bilamana akhirnya kelak kami akan bertemu di padang mashyar, aku berharap kami berdua dapat mengatakan “Betapa besarnya Engkau karena telah memberikan kepadaku seorang yang dapat membuat hidupku menjadi lebih sempurna”

Aku mengetahui bahwa Engkau menginginkan kami bertemu pada waktu yang tepat dan Engkau membuat segala sesuatunya indah pada waktu yang Kau tentukan

Amin…

(puisi dari seorang teman)

Labels:

Ayah Botak !
Saturday, April 14, 2007

Suami-ku botak !..Katanya terakhir kali dia membotak kepalanya sewaktu dia SMA dulu kira-kira 13-14 tahun yang lalu. Lucu juga sih ngeliat dia dengan penampilan baru...Masih tetep ganteng sih :), tapi kok kayaknya seperti ada yang hilang ya ?.. (yang hilang ya rambutnya dong..hihihi)

Alasan ayah tercinta membabat habis rambutnya adalah karena dia lagi bosen beraaaat..Wah, sempet sih terpikir apa yang bikin dia bosan banget begitu ? Pekerjaannya kah ? ... Istri nya kah ?... Rumah kami kah ?... atau...? Banyak pikiran kembali berkecamuk ketika akhirnya ayah pun memutuskan untuk mengambil cuti panjang 14 hari dari kantor..Sepanjang umur pernikahan kami yang hampir 7 tahun ini, belum pernah ayah cuti kerja selama ini.. Ada apa dengan ayah ?...

Bosan ?...Capek ?...Jemu ?...Mungkin itulah alasan yang memang sedang suamiku rasakan saat ini..Perasaan yang wajar karena itu manusiawi sekali...

Aku pun sering sekali dilanda kebosanan..Diantara kesibukan mengurus rumah, anak dan bisnisku... Pengen sekali-kali lepas dari predikat "istri dan bunda" walau sehari saja... Bayangkan saja setiap hari itu-itu saja yang harus aku lakukan setiap hari..Dari jam ke jam dari pekan ke pekan.

Mungkinkah setiap manusia memang sudah dilahirkan untuk menjalani takdirnya ?... Benarkah yang namanya takdir dan suratan itu tidak bisa diubah ?... Dan banyakkah yang harus dikorbankan ketika kita berkeras untuk tidak menjalani takdir itu ?.. Apakah setiap manusia membawa misi dengan takdirnya masing-masing ?... Adakah yang harus dia emban dibalik setiap perjalanan takdirnya ?..

Waktu lulus SMA dulu, aku sempat ragu-ragu untuk memilih kemana aku akan kuliah.. Yang terpikir pokoknya aku harus kuliah untuk membahagiakan papa dan mama.. Padahal jauh di sudut hatiku, aku ingin belajar menjadi seorang penulis, pedagang atau pengusaha , tapi keinginan mama untuk menjadikan aku seorang dokter membuatku akhirnya memilih Fakultas Kedokteran Gigi sebagai pilihan pertama ku di UMPTN..

Dan ketika akhirnya Alloh SWT meluluskan aku , Aku anggap ini sebagai takdir hidup yang harus aku jalani dengan baik.

Hari demi hari aku lewati sebagai seorang mahasiswa kedokteran gigi. Yang namanya bosan jangan ditanya, karena aku menjalani kuliah ini bukan dengan kemauanku... Tapi aku tahu aku harus kuat menjalani takdirku...Akhirnya aku "kombinasikan" kejemuanku di kampus dengan asa-ku. Aku aktif menjadi aktivis senat mahasiswa. Aku banyak menuliskan pikiran-pikiranku lewat majalah kampus, aku asah bakat kepemimpinan dan bakat dagang-ku dengan menjadi ketua koperasi mahasiswa. Merintis dari bawah koperasi mahasiswa di lingkungan FKG UI yang sebelumnya adalah sebuah institusi yang penuh dengan korupsi dana oleh para pengurus sebelumnya.

Kita memang harus sesekali keluar dari rutinitas kita sehari-hari karena kita tidak mungkin mengubah takdir hidup kita. Aku tahu dan sadar bahwa bila saja aku menolak untuk menjalani takdirku, menjalani kehidupanku dari hari ke hari maka aku tidak akan menjadi eva yang sekarang..

Yah, kalo saja dulu aku memutuskan untuk tidak berkuliah di UI, mungkin aku tidak akan dipertemukan dengan suamiku :), kalo saja dulu aku tidak menjalani kuliahku dengan baik mungkin aku tidak akan bisa menjadi seorang ibu rumah tangga yang sekaligus bisa berbisnis juga...

Bagaimana pun Alloh tahu yang terbaik buat kita.. Dan apabila kita sedang lelah dan bosan, tidak ada salahnya untuk menepi sebentar sembari merenungkan arti kehadiran kita di dunia, untuk siapa dan apa sebenarnya kita hidup di dunia ini...

Untuk menjadi diri sendiri ? untuk uang ? untuk keluarga ? untuk anak ? atau sebenarnya kita hanya mampir sebentar di dunia untuk menuju kehidupan lain yang lebih panjang setelahnya ?

Ya Rabb,
Jangan sampai Kau butakan mata hatiku dan keluargaku dari hal-hal yang fana
Buatlah kami selalu menyadari bahwa nikmat-Mu lebih besar buat orang-orang yang bersabar
Buatlah kami selalu menyadari bahwa hidup kami, takdir kami mempunyai tujuan yang akan membawa kebahagiaan abadi kelak
Kuatkanlah kami dari kebosanan dan kejemuan karena mengejar materi, mengejar nama baik, dan mengejar apapun yang bernama "dunia"
Pohon Petai Cina
Wednesday, April 11, 2007
(Pohon petai cina besar di depan rumahku ditebang hari ini. Dahannya yang biasanya menjulur kesana kemari bagai payung raksasa sekarang tak ada lagi. Semilir angin yang menimbulkan suara gemerisik pada daunnya juga tidak akan ada lagi. Kelelawar yang tidur bergantungan juga tidak akan ada lagi.)

Mengapa harus merusak sesuatu untuk sesuatu yang belum terjadi ?...

Aku ingat lima tahun lalu ketika pertama kali aku dan pak Rais memulai bisnis pertama kami suami-istri. Saat itu kami baru menikah dan mempunyai sedikit modal dari hasil uang angpau pesta pernikahan kami. Alih-alih membeli mebel atau men-DP mobil dari uang itu, langsung terlintas untuk membuka usaha yang bisa kami jalankan berdua sepertinya lebih "romantis" buat kami. Kami memulainya dengan meraba-raba. Melewati setiap rintangan dengan senyuman, melewati setiap belokan dengan penuh harap. Bahkan ketika akhirnya setelah 5 tahun usaha kami itu merugi dan harus ditutup, tetap saja semuanya ada hikmah dan pelajaran yang bisa kami ambil.

Memelihara sesuatu dari kecil, merintis sesuatu dari yang bukan apa-apa menjadi “something” adalah pekerjaan yang bukan main-main. Berawal dari tidak punya modal sama sekali atau dengan modal puluhan juta rupiah, tetap saja kita harus memulai langkah pertama dengan kesungguhan. Kebanyakan dari kita sering membayangkan mendapatkan langsung untung yang besar dari usaha kita. “Orang-orang hanya tahu keberhasilan saya saja. Mereka tidak pernah bertanya bagaimana ribuan kali saya jatuh” begitu kata Toyota, pemilik industri nomor satu di Jepang. Kita mungkin juga tidak pernah tahu bagaimana Kolonel Sanders yang sudah tua renta ribuan kali ditolak ketika menawarkan resep ayam gorengnya ke banyak restoran. Yang seringkali kita lihat dari keberhasilan seseorang hanyalah buahnya saja. Hasil yang diperoleh dari bertahun-tahun usaha dan berkali-kali jatuh juga merugi.

(Pohon petai cina itu yang membuat ku dulu jatuh cinta pada rumah ini. Kira-kira setahun lalu ketika pertama kali kulihat rumah biru ini, kehijauan dan kerindangan pohon petai cina besar itu yang sebenarnya menghangatkan hatiku. Sejuknya setiap hari ketika aku sedang berkutat di depan computer di pinggir jendela, entah untuk menjawab email atau hanya sekedar browsing, aku bisa melihat kegagahan dan keangkuhan pohon itu. Benar-benar makhluk Alloh yang indah.).

Alangkah enaknya memetik sesuatu dari hasil keringat sendiri. Sejak kecil aku selalu dibiasakan untuk menjual sesuatu dulu sebelum mendapatkan sesuatu. Pernah ketika mahasiswa, aku menitipkan gelas-gelas kecil pudding buah di kantin kampus, kadang aku titipkan juga mie goreng yang aku bungkus dalam plastic mika kecil. Semua itu kulakukan karena aku ingin sekali mempunyai sebuah HP. Terbayang berapa bulan aku harus mengumpulkan receh demi receh keuntungan ku setiap hari. Untuk membeli HP Siemens seharga Rp.300.000 (waktu itu tahun 1998) papa hanya memberi aku modal Rp. 20.000 yang harus aku putar untuk mendapatkan Rp. 300.000. Yang namanya merugi sering kali aku rasakan saat itu. Namanya jual makanan, kalau tidak laku ya tidak bisa dijual lagi untuk besoknya. Teruuus saja selangkah demi selangkah aku mengumpulkan uang, memasak pudding dan mie goreng di pagi buta sebelum pergi kuliah, membungkusinya satu persatu dengan penuh doa “Ya Alloh, semoga daganganku habis terjual hari ini..”

Jadi kalau sekarang pohon petai cina besar itu ditebang karena pengelola komplek takut rubuh ketika hujan angin itu sama saja dengan membunuh jiwa-jiwa di dalamnya. Jiwa yang sudah sekian lama menggantungkan hidup pada pohon besar itu, jiwa yang sudah sekian lama menjadikan pohon besar itu sebagai tempat tinggal, juga jiwa ku yang merasa teramat terluka melihat pohon itu roboh perlahan-lahan…

Itu sama saja dengan merusak sesuatu untuk sesuatu yang belum pasti terjadi… Apakah manusia memang tidak terbiasa untuk memelihara sesuatu, apakah manusia tidak pernah mnghargai sesuatu yang tumbuh dari kecil dan menjadi besar tanpa mengganggunya, apakah manusia memang tidak terbiasa untuk menghargai sesuatu sekecil apapun itu dengan pandangan kasih ?

(Wahai bapak yang merasa berkuasa, Kenapa tidak dipangkas saja dahan-dahan nya ?..Kenapa harus ditebang habis pohon besar-ku itu ?..)

Labels:

Saya Bukan Saingan Anda, Pak !
Tuesday, April 10, 2007
Jangan khawatir saya akan mengambil bagian rejeki anda. Jangan khawatir saya akan mencaplok pelanggan anda. Jangan khawatir saya akan lebih ngetop dibanding anda. Jangan khawatir saya akan melebihi anda. Jangan khawatir saya akan menyalip anda. Jangan khawatir saya akan mengurangi rezeki anda. Saya bukan saingan anda,Pak !

Saya cuma seorang ibu rumah tangga, Pak. Saya berbisnis untuk mencari kepuasan batin. Bukan buat menghidupi anak istri seperti anda ! Saya berdagang karena memang sejak kecil saya sering melihat mama saya berdagang. Bukan untuk menyekolahkan anak seperti anda !. Saya berdagang karena saya ingin punya kegiatan lain di luar profesi saya sebagai ibu rumah tangga. Bukan sebagai pekerjaan utama seperti anda !. Saya menjalankan bisnis saya karena saya ingin anak saya juga bisa berdagang seperti saya kelak. Bukan karena saya butuh banyak duit seperti anda !. Saya cuma seorang perempuan. Saya bukan saingan anda, Pak !

Saya cuma seorang perempuan, Pak. Saya seorang istri juga seorang bunda. Saya tidak pernah merasa terancam oleh siapapun. Karena seorang bunda terbiasa melihat sesuatu dengan welas asih. Saya tidak pernah merasa tersaingi oleh siapapun. Karena seorang perempuan terbiasa untuk memberi tanpa pamrih. Saya tidak pernah merasa direndahkan oleh siapapun karena sebagai seorang bunda saya terbiasa untuk senang dan gembira melihat kemajuan anak saya. Saya tidak pernah memperlakukan orang dengan tidak fair. Karena sebagai seorang perempuan kami adalah hamba yang mempunyai tempat istimewa di mata Alloh SWT. Saya bukan saingan anda, Pak !

Alhamdulillah kepada Alloh SWT, suami saya masih bisa mencukupi kebutuhan saya. Alhamdulillah, saya merasa sudah berlebih sekarang. Alhamdulillah saya tidak harus berlaku kasar kepada saingan saya. Alhamdulillah yang namanya rezeki terus mengalir kepada keluarga saya. Alhamdulillah saya masih bisa menyisihkan 20% rezeki kami untuk anak yatim. Alhamdulillah kami sekeluarga masih bisa terhindar dari riba. Alhamdulillah kami sekeluarga tidak terjerat hutang. Alhamdulillah kami masih punya tempat berteduh, tidak harus mengontrak dan pusing setiap tahunnya. Saya bukan saingan anda, Pak !

Saya tidak marah anda tidak pernah menggubris pemikiran saya. Saya tidak akan marah. Saya tidak marah anda tidak senang pada saya. Tapi perlu anda tahu, saya tidak butuh anda ! Saya bukan saingan anda, Pak !

Saya memang bukan saingan anda karena saya lebih baik berkali-kali lipat dibanding anda !. Mau bukti ?

Labels:

Duka Buat Beya
Sunday, April 08, 2007
Berita penuh kesedihan ini aku terima dari beberapa milis yang aku ikuti dalam beberapa hari lalu :

Putri kami tercinta Nabila Khaufi Zahra (Beya), umur 4.5 tahun, telah
meninggalkan rumah (hilang) sejak tanggal 3 April 2007 pagi, dan sampai
sekarang belum ada kabar keberadaannya.

(Red: anak tersebut hilang di sekitar halaman depan rumahnya. Masih di dalam
rumah. Itupun dia sedang bermain dengan eyang putrinya yg sedang bersih2 halaman
itu.)

Mohon bantuannya bagi siapa saja yang menemukan ananda, agar menghubungi alamat
berikut ini :

Bapak Sugeng / Ibu Tutik
Alamat : Klitren Lor GK 3 No.40,
Yogyakarta
Telp. 0274 545479
081 568 403 400 (Ibu Tutik)
081 328 364 423 (Bp.Sugeng)

Terimakasih untuk semuanya.
Semoga Allah mendengarkan do'a kami.

Keluarga Sugeng.


Dan pagi ini jam 08.18 seorang teman dari kerabat keluarga Beya memberitahu aku lewat SMS bahwa Beya sudah ditemukan dalam keadaan meninggal dunia....

Innalillahi Wa Innailaihi Rajiun....

Beya cantik, jadilah engkau bidadari surga yang akan menjemput orang tua-mu di akhirat kelak...

Tunggulah mereka ya nak, sambutlah mereka nanti dengan senyumanmu yang paling manis...

Beya, damailah kau disamping-Nya..Amin Ya Rabbal'alamiin...
Keras Kepala-nya Eva
Friday, April 06, 2007

“Gaul dong, Va. Masa sampai sekarang penampilan kamu begitu-gitu aja. Jeans, kaos, bosen deh lihatnya. Aku kira setelah dua tahun kita gak ketemu, kamu bakal berubah.”. Loh, apa yang salah dengan penampilanku?. Aku merasa nyaman dengan jeans dan kaos seperti ini. Atau karena gaya pakaianku tidak pernah berubah sejak kuliah dulu ?. Mau diapakan lagi, aku tidak pernah punya cukup keberanian untuk memakai tanktop atau sejenisnya.

“Walau sekarang kita udah tidak seperti dulu lagi, kita harus trendy, Va. Jangan kalah sama cewek-cewek diluar sana. Bisa-bisa suami kita beralih pandangan deh. Liat nih aku. Kamu pasti pangling liat aku kan ?. Aku pengen kasih tahu pada dunia bahwa aku masih berjiwa muda”.

Suamiku?, Rais ?, akan mengalihkan pandangan dariku hanya karena seorang cewek centil berambut merah palsu dan berbaju ‘trendy’ ?. Tidak mungkin, batinku yakin.

“Va, Va, jangan diem aja. Kamu marah ya aku kritik begitu?” Aduh, si ibu satu ini. Rasanya dia lebih repot mengurus penampilan dan perasaan orang lain daripada berkaca sendiri. Tak tahukah dia bahwa sikapnya membuatku merasa bahwa dia sudah terlalu jauh mencampuri wilayah pribadiku yaitu kebebasanku.

“Emang menurut kamu, aku ini gak gaul ya?”

“Iya lah. Coba lihat, kamu tetap seperti Eva yang kukenal waktu kuliah dulu. Padahal kan, kamu sekarang sudah 31 tahun. Seharusnya kamu lebih merawat diri kamu.”

”Aku tidak terawat ?. Begitu maksudmu ?”

“Iya, Eva. Tidak terawat dan tidak menjadi lebih baik. Gimana sih kamu?”

Apa sih definisi ‘gaul’, ‘tidak terawat’ dan ‘menjadi lebih baik’ ?. Kalau saja tidak kuingat bahwa perempuan didepanku ini adalah sahabat lamaku pasti sudah dari tadi kuajak berdebat. Inilah kelemahanku. Aku terlalu lemah untuk mendebat pendapat orang lain, takut menyakiti hatinya. Apalagi ini kawan lamaku. Kurang gaul ?. Apa iya? Walau aku ‘hanya’ ibu rumah tangga, tapi aku aktif di berbagai kegiatan. Dari arisan komplek sampai anggota milis filatelis. Adu referensi tentang mode tas atau sepatu terbaru pun boleh. Atau mau tahu tentang proses pengadilan Saddam Husein, boleh coba diskusi denganku. Temanku juga banyak. Mulai dari tukang jamu langgananku sampai Pak Bram –sesama anggota milis penggemar suplir- yang partner pengacara Gani Djemat. Apalagi tidak terawat. Mungkin aku bukan ‘salon freak’ yang harus setiap dua minggu sekali creambath atau mani-pedi disana, tapi untuk urusan penampilan boleh periksa sekujur tubuhku. Memang sih, aku bukan tipe yang terlalu memprioritaskan penampilan, tapi aku bisa mempertahankan berat badanku di berat ideal. Aku ikut klub body language seminggu dua kali. Dan yang terpenting setiap tahun aku selalu general check up di rumah sakit. Aku dan suamiku juga rajin lari pagi tiap Sabtu dan Minggu. Dan selama ini tidak ada yang komplain tentang kulit wajahku. Walau tidak semulus dan seputih Tamara Blezinsky, tapi wajahku cukup manis dengan sedikit bekas-bekas jerawat yang memang susah dihilangkan. Dan menjadi lebih baik?. Ini yang memerlukan pemikiran mendalam. Aku yakin, saat ini masih banyak kekuranganku sebagai seorang istri dan seorang ibu. Terkadang aku masih suka ngambek ketika suamiku pulang terlambat. Atau sering juga aku merajuk ketika keinginanku untuk membeli baju baru harus tertunda. Aku juga sering meledak marah pada Shabrina ketika sabarku sudah habis. Atau aku pernah juga merasa malas dan bosan karena rutinitasku di rumah. Tapi aku sedang dalam proses menjadi lebih baik sekarang. Aku yakin itu. Karena aku merasakannya, aku tahu dengan pasti. Sekarang aku jauh lebih matang memandang hidup. Obsesiku terhadap uang juga berubah menjadi lebih bijak sekarang. Ketertarikanku dengan agama juga membuatku lebih tenang sekarang. Bisnis-ku juga berjalan baik. Walau sepertinya aku di rumah saja tapi boleh adu besar penghasilanku sebulan dengan seorang dokter gigi yang baru selesai PTT.

Apakah semua perubahan itu harus ditunjukkan secara fisik ?. Apakah kita harus merubah penampilan kita supaya orang lain tahu tentang perubahan kita ?. Atau mungkin yang dibicarakan sahabat lamaku ini sebatas perubahan fisik saja?.

“Maksudmu kamu tidak melihat penampilanku berubah dibandingkan dulu, begitukah?” tanyaku minta penjelasan.

“Eva sayang, ini bukan masalah penampilan saja. Yang namanya perubahan di dalam pasti akan terpancar ke luar lewat lahiriah kamu.” jawabnya sambil tersenyum. “Aku yakin, bahwa cara kamu memandang hidup saat ini pasti tidak jauh beda dengan Eva yang dulu. Yang selalu easy going, tidak memperdulikan pendapat orang dan cuek sama lingkungan. Benar kan?.” Sekali lagi aku terhenyak mendengar penilaiannya. Wah, ternyata seperti itulah dia menilaiku selama ini.

“Memang ada yang salah dengan hal itu ?. “ kataku kalem. Kulihat mata berlensakontak biru di depanku membelalak.

“Tidak ada yang salah sih. Tapi kamu bisa berubah menjadi lebih baik” katanya lugas.

Ternyata di balik kalimat- kalimat kritikannya ini dia menyimpan maksud tersembunyi dari hanya menegurku soal jeans dan kaos. Aku tidak tahu apa maksudnya. Tapi aku mencoba untuk mendengar dan menyelami maksud tegurannya. Tidak ada ruginya, pikirku.

“Dari dulu aku gak setuju kamu hanya di rumah saja, Va. Kamu kan sahabat dekatku di kampus. Seharusnya kamu bisa menjadi partnerku sekarang. Kita bisa buka klinik dimana-mana kalau kita kerja bareng.” katanya sambil menghela nafas. Kutatap tajam-tajam manik matanya mencari sesuatu disana. Tidak ada kebohongan disana, dia mengatakan yang sebenarnya. Akhirnya keluar juga ganjalan yang sebenarnya dari sekian banyak kritikan pedasnya padaku dari tadi.

"Coba kalau kamu ikuti jejak-ku. Mungkin kamu gak harus berkutat di rumah aja kayak sekarang. Gak bosen kamu ya Va ?" sambungnya lagi sambil memainkan kacamata di tangannya."Mana idealisme kamu dulu untuk menjadi wanita karier,Va. Membuat klinik untuk para kaum dhuafa, aku gak ngerti kenapa kamu berubah seperti ini"

“Mirna, aku ngerti kalau kamu kecewa sama aku. Kita memang selalu bersama sejak dulu. Tapi kamu dulu bilang, kamu bisa mengerti keputusan dan pilihanku. Kenapa kamu mengungkitnya lagi sekarang. Aku bahagia, Mir. Mungkin aku tidak akan pernah mewujudkan mimpi kita dulu untuk mempunyai jaringan klinik di mana-mana. Tapi aku menemukan kenyataan lain, Mir. Aku bisa menemukan kebahagiaan lain. Dan itu adalah keluargaku”. Keluar juga isi hatiku yang kupendam dari tadi. Entah kenapa, aku merasa bukanlah menjadi haknya untuk beranggapan bahwa hidupnya lebih baik dari aku dengan hanya dia bisa memakai jas blazer itu dan menaiki mobil mewah atas namanya sendiri.

“Tapi aku melihat kamu tidak berubah, Va.”

“Aku memang tidak harus berubah, Mir. Aku puas atas diriku. Tuhan sudah memberi banyak nikmat padaku. Tak ada yang bisa kulakukan selain bersyukur.”

“Manusia harus berubah untuk kehidupannya. Kalau tidak dia akan tertinggal oleh zaman.”

“Aku tidak mau berubah. Beginilah aku. Aku hanya ingin menjadi lebih baik.”

Mungkin memang benar katanya, aku cukup keras kepala untuk mengakui ada beberapa pendapatnya yang perlu kudengar. Mungkin memang benar usahaku kurang kuat untuk menjadi orang yang lebih baik, sehingga orang lain tidak melihat ada perbedaan pada diriku. Banyak yang harus kukoreksi dari diriku dan kehidupanku. Aku mengerti kalau dia tidak bermaksud menyakiti hatiku. Dia hanya memakai kacamatanya untuk melihat kehidupanku. Dan seperti katanya, aku memang tidak peduli apa kata orang tentang kehidupanku. Dia memang benar, aku memang agak keras kepala.

Labels:


“Kenapa ya jeng, ayah sayang banget sama ajeng” begitu bisiknya tadi malam menjelang tidur. Kekasihku ini memang memanggilku ‘diajeng’ sebagai panggilan kesayangan. Tak tahu kenapa. Padahal kami berdua bukanlah orang Jawa, tapi aku senang dengan nama sayangku itu. Kesannya romantis dan lucu.

“Jeng juga sayang sama ayah.” Sahutku manja.

“Tapi ayah suka sedih kalo jeng marah-marah sama ayah” suamiku menarikku dalam pelukannya.Aku hanya tersenyum kecil mendengar kalimat terakhir itu. Hal inilah yang membuat aku sangat mencintainya. Tak pernah sekalipun dia menegurku secara langsung.
Selalu dengan kata-kata yang lembut dan tidak menyakitkan hati.

Kuingat kejadian kemarin sore, kejadian sepele sebenarnya. Sore itu suamiku sudah berjanji untuk pulang lebih awal karena ingin mengantarkanku kontrol kawat gigiku ke dokter gigi. Biasanya aku pergi sendirian untuk kontrol bulanan ini. Tapi aku dan suamiku ingin sekali makan kepiting di Telaga sepulang dari dokter gigi malam ini. Sepanjang pagi dan siang sudah terbayang-bayang nikmatnya kepiting saos padang seafood “Telaga” di kepalaku. Sudah lama rasanya aku tidak ke sana, sudah terbayang akan berpedas-pedas ria malam itu. Dulu waktu hamil Shabrina, sering sekali suamiku mengajakku ke seafood di kelapa gading. Tanpa nasi, aku bisa melahap satu porsi ikan gurame bakar sendirian. Aku memang ngidam seafood waktu hamil dulu. Satu porsi kerang dara dan cumi asam manis juga adalah favoritku. Wah, gembiranya aku hari itu.

Tiba-tiba saja menjelang sore ketika aku baru saja tiba di rumah dari menjemput Brina kursus lukis, suamiku menelepon mengatakan bahwa dia tidak bisa ikut pergi ke dokter gigi dan menyuruhku langsung kesana. “Nanti ayah jemput jeng di Depok, terus kita langsung aja ke Telaga. Ada meeting sore sebentar nih”, begitu janjinya. Tapi tunggu punya tunggu -setelah hampir satu jam bengong di ruang tunggu praktek dokter - janji itu pun dia batalkan karena ternyata meeting sore itu berlanjut sampai maghrib. Marahnya aku malam itu ditambah dengan pembatalan lewat sms membuatku cemberut ketika dia tiba di rumah. Memang sih, kulihat penyesalan di mukanya. Tapi karena sudah kadung terbayang lezatnya kepiting pedas membuatku tidak semudah itu memaafkannya.

“Ayah maunya kita sayang-sayangan aja kayak gini. Gak usah cemberut, marah-marah, atau ngomel-ngomel” kata suamiku lagi sambil mengelus-elus punggungku.

“Abis ayah bikin kesel sih. Harusnya ayah gak usah janji kemarin, jadi jeng gak kebayang-bayang enaknya kepiting. Ayah nyebelin” aku menjawab sambil pura-pura masih marah.

“Ayah sering bikin kesel jeng ya?. Maaf ya sayang, ayah gak bermaksud begitu kok. Emang ayah sering banget gak menepati janji sama jeng. Tapi itu karena terpaksa banget bukan disengaja”

“Maunya ayah, jeng harus gimana sih kalo ayah lagi bikin sebel kayak kemarin ?. Jadi jeng gak usah cemberut dan marah- marah lagi” kataku membuka diskusi. Kutarik tubuhku dari pelukannya dan menatap matanya siap untuk bertukar pendapat. Kulihat mukanya langsung berubah serius. Kutarik-tarik rambut ikalnya yang mirip sekali dengan rambut Shabrina.

“Jeng juga gak mau marah-marah sama ayah. Emang enak cemberut dan marah-marah ?. Capek hati, capek pikiran “ sambungku lagi. Senyumnya langsung mengembang mendengar perkataanku.

“Mmm, gimana ya ?. Kalo ayah maunya kita gak usah saling marah atau saling cemberut. Kita damai-damai aja.” Suamiku berjalan duduk ke pinggir tempat tidur. “Ayah juga sedih kalo ngeliat jeng marah-marah. Jeng kan udah capek ngurusin Shabrina dan rumah kita seharian, masa harus capek hati lagi sama ayah”

“Maksud ayah, jeng gak boleh marah dan kesel sama ayah gitu ?. Walau ayah salah, jeng harus senyum dan seneng aja gitu?.” Tentu saja aku bingung mendengar pernyataannya. Wah, gimana kalau tidak ada yang namanya perasaan marah di hati manusia. Menurutku Tuhan memberikan rasa marah sebagai penyeimbang rasa saling menyayangi. Ada marah ada sayang, ada cinta ada benci, ada suka ada duka, itu adalah dua sisi mata uang kehidupan.

“Bukan begitu maksud ayah, istriku sayang. Jeng boleh marah, boleh kesel tapi mungkin jeng juga harus mudah memaafkan. Jadi kesel dan marahnya gak harus berkepanjangan dan membuat jeng capek hati capek pikiran” dia menyahut sambil memandangiku. Aduhh, cintaku, batinku. Dalam sekali makna kalimatmu barusan. Kami akhiri obrolan malam itu dengan tidur saling berpelukan sampai pagi.

Mungkinkah bisa begitu mudah memaafkan ?. Mungkinkah memaafkan bisa menyembuhkan luka hati karena kecewa ?. Memaafkan yang seperti apa ?. Bukankah dengan orang lain marah ketika sedang kecewa pada kita membuat kita tahu bahwa kita sudah menyakiti hatinya?. Bukankah marah disini bisa diartikan sebagai suatu kontrol buat diri kita agar lebih berhati-hati dalam bersikap pada orang lain?.

Setelah kupikirkan baik-baik pagi ini, aku baru mengerti maksud tegurannya padaku. Mungkin aku memang harus mudah memaafkan, harus lebih berlapang hati dalam melihat kesalahan orang lain. Terutama bila yang bersalah itu adalah orang yang kita cintai. Yakin-lah bahwa mereka tidak akan pernah sengaja untuk menyakiti hati kita. Mana mungkin kita membuat menangis orang yang kita sayangi. Yang ada hanya kekhilafan mereka bukanlah kesalahan mereka. Dan sebagai orang yang saling menyayangi dan mencintai, kita pasti punya sejuta keranjang kata ‘maaf’ buat mereka. Tak akan pernah habis kata maaf itu dari hati kita. Memaafkan dan memaklumi adalah dua hal wajib dalam mencinta.

Susah memang untuk tetap memaafkan ketika kita marah atau dikecewakan oleh orang lain. Tapi sikap pemaaf adalah sikap yang selalu diambil oleh orang-orang besar sepanjang zaman untuk membuat derajat mereka lebih mulia dibanding orang lain. Mungkin kita harus memilah-milah hal-hal apa saja yang membuat kita marah pada orang lain. Mungkin kita sekarang harus bisa membedakan mana hal yang sepele dan mana hal yang prinsip. Sehingga kita tidak harus mudah marah dan kecewa pada hal-hal yang remeh temeh. Mungkin selama ini aku memang sudah banyak mengeluarkan energi hanya untuk marah dan kesal karena hal-hal sepele. Padahal banyak hal sepele di dunia ini. Dan tidak akan berubah hidup kita karena hal-hal sepele itu. Jadi kenapa harus diambil pusing ?.

Lagipula masih banyak kebaikan suamiku dibanding tingkahnya yang bikin kesal itu. Aku jatuh cinta padanya dulu karena dia selalu menerima aku apa adanya, tidak pernah menuntut di luar kemampuanku. Aku mabuk cinta padanya karena dia lemah lembut tidak pernah sekalipun dia berlaku keras padaku. Dia juga adalah ayah yang hebat buat anaknya. Tak banyak laki-laki yang mau ikut mengurus anaknya seperti dia. Dia juga selalu berlaku baik pada keluarga besarku, satu-satunya menantu yang bisa ngobrol panjang dengan wak Nasim yang sok tahu itu. Dia juga pintar mencari uang, syukur pada Tuhan kami tak pernah kekurangan materi selama ini. Dia juga ganteng, cerdas, hebat dalam bercinta. Dia juga….Ah, jadi kangen padanya ……..

Labels:

“Kenapa sih kamu harus mengeluh terus?. Banyak yang lebih tidak beruntung darimu”
“Tapi salahkah aku berharap lebih dari perkawinan ini?. Semuanya sudah kuberikan. Masa gadisku, karierku, cita-citaku, harapanku, semuanya”
“Benarkah?. Benarkah tidak ada satu hal pun yang kau dapat dari perkawinanmu?.”
”Ya. Yang ada hanya lelah, capek dan jemu”
“Tapi kau seorang istri. Tidak banyak orang bisa mendapat berkah itu”
“Buat apa kalau itu hanya berarti merasa diri tidak nyaman dan selalu tertekan?”
“Tapi kau seorang ibu. Kau mempunyai dua orang anak yang sehat, sempurna dan cantik. Kau beruntung”
“Tapi tidak menjadikan hidupku lebih berharga”
“Kenapa kau selalu mengatakan semuanya untuk dirimu?. Ketidakberhargaan dirimu, tertekannya dirimu, capeknya dirimu, lelahnya dirimu. Apakah kau tidak pernah merasa itu tidak adil?”
“Dunia ini pun sudah tidak adil buatku. Tidak ada yang berpihak padaku. Tidak ada yang berpihak pada seorang perempuan”
“Iyakah?.”
“Tidak usah bertanya seperti itu. Coba kau tanyakan sendiri pada hatimu”
“Sudah. Seringkali. Tapi anehnya aku tidak pernah merasa itu semua adalah salah dunia.”
“Itulah kita perempuan. Kita menamakannya nasib”
“Satu pertanyaan penting, sebenarnya apa persisnya yang kamu inginkan dari hidupmu?”
“Aku cuma berharap bisa hidup tenang, menjadi diriku sendiri tanpa ada embel-embel lain yang memberatkanku”
“Tapi memang begitulah hidup. Tanpa menjadi seorang perempuan pun, hidup ini sudah berat”
"Ya enak saja kamu bicara begitu. Kamu punya suami yang baik, tidak pernah menuntutmu dan hidupmu berkecukupan”
“Itu kan cuma menurutmu saja. Pernahkah kau tanyakan sungguh-sungguh tentang masalahku?”
“Tanpa bertanya aku sudah tahu apa masalahmu. Paling hanya bingung menentukan warna karpet yang cocok untuk cat baru rumahmu setiap tahun”
“Sinis sekali kamu”
“Itulah kamu. Kamu terlalu naïf melihat dunia ini. Bagimu semua yang kamu jalani adalah suratan takdir”
“Bukankah itu jauh lebih meringankan diri?"
“Masa? Kamu jadi merasa cepat puas kan?. Tidak iri kamu melihat teman-teman kuliah kita dulu yang sudah jadi?”
“Maksudmu?”
“Kamu tidak iri melihat Ika, Riri, Evi, mereka sudah jauh meninggalkan kita”
“Maksudmu hanya karena mereka bekerja dan mempunyai penghasilan yang besar?”
“Ya”
“Mereka pasti punya masalah sendiri. Tidak ada orang yang bebas dari masalah”
“Tapi setidaknya mereka tidak harus berpegang pada kata nasib. Mereka bisa lebih bebas menentukan nasib mereka sendiri”
“Bukankah selama ini kamu sudah memilih?”
“Ya. Tapi aku merasa hanya menjadi seperti ini bukanlah pilihan terbaikku”
“Begitu pula dengan suami dan anak-anakmu?. Kamu merasa semua itu bukan yang terbaik buatmu?”
“Aku yakin bisa lebih baik dari sekarang”
“Misalnya seperti apa?”
“Aku yakin bisa menaklukan dunia”
“Caranya?”
“Aku mahasiswi pintar di kampus dulu. Lulus kuliah aku langsung bekerja. Tanpa menganggur lagi. Aku yakin bisa menjadi wanita karier yang berhasil sekaligus menjadi istri dan ibu yang baik”
“Kenapa kamu dulu tidak mewujudkannya?”
“Ya itulah salahnya dunia. Tidak adil pada perempuan.”
“Maksudmu kamu dipaksa harus memilih salah satu?”
“Ya. Dan baru kusadari sekarang kalau aku bisa menjalaninya berbarengan”
“Berarti itu memang pilihanmu?”
“Itu memang pilihanku. Tapi lebih adil kalau kita tidak usah disuruh memilih”
“Siapa yang dulu menyuruhmu memilih?”
“Tentu saja keadaan. Keadaan yang memaksa”
“Bukan hatimu sendiri yang menyuruhmu memilih?. Bukankah hidup ini memang pilihan?”
“Tapi aku ingin semuanya”
“Kalau begitu kenapa kamu harus tidak puas saat ini. Bukankah dunia sudah memberikan semuanya untukmu?”
“Pasti kamu mau bilang bahwa aku sudah memiliki suami, anak, keluarga, tapi kan hanya itu saja yang aku punya sekarang”
“Maksudmu kamu juga ingin jabatan, karier, dan uang?”
“Ya. Juga eksistensi diri, implementasi ilmu dan kepuasan batin”
“Hal-hal itu yang tidak kamu dapat selama ini?”
“Ya”
”Dengan kata lain perkawinanmu tidak bisa memberikan eksistensi diri atau kepuasan batin?”
“Ya begitulah.”
“Kenapa kau tidak berusaha mendapatkannya?”
“Aku memang tidak pernah mencoba karena aku harus memilih”
“Kalau begitu itu salahmu, bukan karena dunia tidak adil”
“Kenapa aku harus menyalahkan diriku karena tidak bisa mencapai sesuatu yang maksimal ?”
“Kamu kan tidak bisa menjalani keduanya”
“Aku hanya belum pernah mencoba”
“Tapi kamu sudah dewasa. Seharusnya kamu tahu apa yang kamu pilih. Dan itu tidak akan bisa selalu sesuai keinginanmu”
“Kenapa tidak?. Kulihat kamu selalu mendapatkan semua keinginanmu”
“Ah, yang benar? “
“Kamu bisa mendapatkan suami yang baik, anak yang cantik, rumah yang bagus, mobil yang bagus, keluarga yang harmonis. Iya kan?”
“Kamu yakin sekali kalau semua itu keinginanku”
“Karena kulihat kamu sudah puas dengan semuanya”
“Tapi itu bukan keinginanku. Itu adalah hadiah dari Tuhan buatku.”
“Berarti kamu mendapatkan lebih dari keinginanmu kan?. Kamu tidak harus memilih karenanya”
“Aku sudah memilih. Dan aku bahagia karena pilihanku. Oleh karena itulah Tuhan banyak memberi hadiah buatku karena aku bersyukur”
“Sekarang kita mau ke sSetiabudi atau ke toko buku ?”
“Nah, sekarang kita harus memilih kan?. Dan tampaknya kita memang harus memilih karena Jakarta sangat macet pada jam begini. Atau kamu pikir kita harus mencoba keduanya?. Boleh saja, tapi kamu yang beli bensinnya ya !”

Labels:


Bukannya aku tidak mau patuh pada suami. Rasa-rasanya keinginanku saat ini tidak berlebihan. Apakah memang ada perbedaan cara pandang antara laki-laki dan perempuan dalam hal ini?. Pertanyaan tadi yang terus menggangguku, ketika hampir saja terjadi konflik terbuka dengan suami tercintaku. Entah kenapa, kurasakan dia terlalu memaksakan kehendaknya padaku saat ini. Bukankah aku bisa menentukan pilihanku?

Huih, berbeda sekali dengan Rais yang kukenal. Pertama kali kenal dia di kampus kami dulu, Rais adalah cerminan sosok demokratis dan liberal khas anak Fisika. Enak saja dia merancang tugas yang bertentangan dengan aliran sang dosen sehingga nilai D sering dia terima. Tapi tidak pernah tercetus sekalipun pikiran untuk merubah cara pandangnya. Baginya keindahan suatu ilmu adalah di saat dia bisa menuangkan secara total, sekali lagi, secara total ekspresi dirinya. “Dinding” yang mencuat dengan komposisi yang tidak kompromis terhadap aturan baku adalah karya-karya monumentalnya.

Begitu juga di Senat kampus, buatku yang anak kedokteran, sikap Rais yang sering menyederhanakan masalah, hatta itu adalah masalah prinsip, sering tidak masuk akal sehatku. Bagiku kalau yang namanya sudah aturan ya tetap harus ditaati. Tapi bagi Rais, ketua Senatku dulu ini, siapa pun orang yang bisa memberikan ide terbaik untuk memecahkan sebuah masalah maka peraturan orang itu-lah yang akan dipakai. Apa pun caranya. Buat Rais, cara yang paling efektif dan efisien untuk menyelesaikan masalah adalah ketika kita mencoba berdiri diluar jauh dari masalah itu. Termasuk mencoba keluar dari aturan, norma ataupun kepatutan yang biasa dilakukan. Semakin `gila` jalan keluarnya, maka biasanya semakin efektif solusinya.

Tapi sikapnya yang bebas merdeka, yang selalu terbuka pada pendapat orang lain, yang selalu menghargai setiap potensi orang itu-lah yang membuatnya terpilih menjadi ketua Senat selama dua periode. Di bawah kepemimpinannya sudah banyak teman-temanku yang dulu `bukan apa-apa` menjadi mekar berkembang menjadi mahasiswa-mahasiswa yang bisa diperhitungkan kiprahnya. Rais sendiri bukanlah tipe pemimpin yang senang berada di depan. Dia lebih senang kalau kiprahnya tidak terlihat. Begitu ungkapnya dulu padaku yang sering kusambut dengan cibiran bibir.
Masih jelas terbayang ketika kampusku menjadi tuan rumah pendeklarasian satu kesatuan aksi mahasiswa yang cukup berperan tahun 1998. Di saat teman-temannya yang sama-sama penggagas organisasi ini satu persatu diwawancarai koran, majalah dan stasiun TV, Rais dengan santai menggamitku pergi dan membawaku ke toko buku untuk merayakan ulang tahunnya. Padahal dia-lah otak yang merancang struktur organisasi ini sehingga bisa menjadi kesatuan aksi mahasiswa yang memegang puncak komando untuk para mahasiswa di Jawa dalam gelombang reformasi 1998. Boleh dibilang kesatuan aksi ini adalah cikal bakal angkatan 98 yang sekarang pentolannya banyak menjadi petinggi partai dan anggota majelis.

Tak kupungkiri hal-hal itulah yang membuatku jatuh cinta padanya. Sederhana, terbuka, bebas, dan apa adanya, serasa dia bukanlah berasal dari dunia kepalsuan ini. Di dekatnya aku bisa menjadi Eva yang sebenarnya. Bukan Eva yang anak sulung, bukan Eva yang anak kedokteran gigi, bukan Eva yang aktivis mahasiswa . Nyaman sekali berada di sampingnya. Di dekatnya aku bisa menangis panjang karena kesal pada Mama yang selalu memaksakan kehendak, di dekatnya aku bisa melamun menatap tingginya ombak pantai Pangandaran tanpa resah belum belajar untuk kuis esok, di dekatnya bisa kurasakan betapa dia sangat menghargai Eva sebagai seorang manusia. Dengan segala pilihanku dan segala konsekwensi yang bakal kuhadapi nantinya.

Aku belajar banyak darinya. Tapi tidak pernah sekalipun dia berlagak seperti guru di depanku. Dia tetaplah Rais, kekasihku yang menerimaku apa adanya. Bahkan di awal-awal pernikahan kami, ketika aku memutuskan untuk total menjadi seorang ibu rumah tangga. Tidak ada satupun komentar keluar dari mulutnya, hanya senyuman sayang saja yang mengiringi dekapannya.

Sekali lagi kubalik-balik halaman indeks warna di salon muslimah langganan kami ini.
“Jadi gak coloring-nya, Bu?” terhenyak aku mendengar pertanyaannya.
“Nah, warna ini yang lagi ngetrend sekarang, Bu. Hazelnut gelap, cocok deh sama kulit Ibu” katanya dengan suara agak mendesak.
Pagi ini, hari Sabtu yang memang sudah sangat kunantikan sepanjang minggu. Aku dan sahabat akrabku –Dhanti- sudah menyusun janji untuk pergi ke salon langganan kami. Berbeda dengan Dhanti yang mantan cover girl, sudah lama aku tidak ke salon. Hampir tiga bulan. Maklum rambutku yang lurus ini tidak memerlukan perawatan yang rumit. Tinggal dipotong bob pendek, diberi hair tonic tiap malam dan sesekali creambath sendiri di rumah. Tapi hari ini lain. Aku dan Dhanti berencana mengubah warna rambut kami. Pengen variasi dan ganti gaya saja, begitu alasan kami.

Dan semuanya bermula dari pertanyaan suamiku yang dilontarkannya sesaat sebelum aku mengulas sapuan bedak terakhir di wajahku. “Tumben semangat banget. Biasanya kamu paling males nemenin Dhanti ke salon, Va?”. Langsung dengan berapi-api kubeberkan rencana kami untuk mengecat rambut kami. Tak disangka wajahnya berubah menjadi serius dan menohokku dengan kalimat “Aku gak setuju, ah. Aku lebih suka kalo kamu biasa saja, Va”. Tentu saja ini diluar dugaanku. Kalimat “…Aku lebih suka kalo kamu biasa saja” akhirnya menjadi perdebatan kami pagi ini. Menyebalkan, karena kali ini pendapatnya sama sekali tidak logis buatku.

Sudah berulangkali Dhanti meyakinkan sejak tadi, bahwa ini hanya soal warna rambut. “Itu tidak mengubah diri kamu, Va. Kamu tetap Eva, yang istrinya Rais dan bundanya Shabrina. Tidak ada yang berubah. Lagian kamu kan pake jilbab. Gak bakal kentara perubahan warna rambut kamu di mata orang lain” begitu katanya. Tapi benarkah ini tak mengubah diriku?. Benarkah warna rambut tidak penting buatku? Atau memang suami-ku saja yang membesar-besarkan masalah. Kalau memang aku merasa bisa bebas memilih, kenapa kali ini aku merasa bimbang ?. Bukankah ini rambutku, tubuhku? Dan seperti kata Dhanti tadi, aku pun tidak akan berubah hanya gara-gara warna rambutku. Kenapa aku harus begitu peduli pada perasaan suamiku?

“Dhan, aku mau potong rambut dan creambath aja deh” akhirnya keluar juga keputusanku. Dhanti membelalakan matanya sambil tersenyum.
“Aku tahu kamu pasti akan memutuskan itu, Va” lanjutnya tulus.
Kuurai lagi kejadian tadi pagi. Kuhadirkan wajah suami tercintaku. Kucoba untuk memahami perasaannya. Mungkin memang saat inilah aku harus menerima dia apa adanya. Sisi dirinya yang selama ini tidak pernah kuketahui. Mungkin tidak masalah buatnya, bila aku memutuskan total menjadi ibu rumah tangga. Mungkin tidak masalah buatnya, bila aku belum mau memberi adik lagi buat Shabrina. Tapi mengubah warna rambutku adalah masalah besar buatnya. Dan aku akan menerima itu sebagai rasa sayangku padanya. Mencoba untuk menghargai pendapat dan kemauannya. Walau memang terasa agak konyol buatku.

Labels:

(foto Shabrina bersama Nenek Surti) Kalau saja aku bisa memutar waktu, malas rasanya berada disini. Diantara kerumunan Om, Tante, Uwak dan Mamak yang mengobrol riuh sambil tertawa-tawa. Entah apa yang mereka perbincangkan sampai harus mengorbankan telinga orang-orang di sekelilingnya.
“Nah, ini dia Eva betino kito. Ngapo belum nambah anak hah?..”

Itu lagi itu lagi pertanyaan yang harus kuhadapi setiap aku bertemu salah satu dari mereka. Sedangkan suamiku dengan santainya duduk bersila diatas tikar sambil tersenyum-senyum melihat kusutnya mukaku.

“Tambah lah anak tu. Jangan lamo-lamo. Dak takut kalo ketuoan hah?”
“Insya Allah, Wak”. Yah, hanya itu jawaban standar yang terlontar dari mulutku. Mau gimana lagi, pahit mulut ini menjelaskan alasanku kepada mereka juga tak bakal mendapat tanggapan yang konstruktif.

Tau gak sih susahnya mengurus anak itu?, gerutuku dalam hati. Tanpa sadar kuperhatikan satu persatu orang-orang tua yang duduk didepanku. Tante Sumi adalah keponakan Mamaku yang paling besar. Rambutnya yang hitam masih tergelung rapi, khas wanita seberang. Anaknya ada tujuh orang dan semuanya laki-laki. Ya, Tuhan, tanpa sengaja aku berucap sambil membayangkan repotnya dia setiap hari. Om Irwan, sepeninggal istrinya karena kanker delapan tahun lalu dia menikah lagi, dan total jumlah anaknya dari istri pertama dan kedua adalah sepuluh orang. Wah, padahal si Om hanyalah guru PNS biasa. Bagaimana ya dia harus menyekolahkan sepuluh anaknya?.

Di pinggir tembok menyandar pada pilar ada Kakek Imron. Beliau masih terhitung sepupu Kakekku. Tapi dibanding dengan Kakek yang sudah mulai pikun sekarang, Kakek Im - begitu kami biasa menyapanya- masih segar bugar. Mulutnya masih sibuk mencangklong pipa hitamnya. Yang ini pun sami mawon, dengan dua istri yang dinikahinya dia mendapat delapan orang anak. Bahkan anaknya yang terkecil masih seumuran denganku.

“Banyak anak tu banyak rezeki, Va. Nah, liat lah Uwak-mu ini tak pernah habis harta karena dua belas anak” yang ini adalah komentar Wak Nasim si saudagar sepatu. Terang saja dia enteng berucap seperti itu, toko sepatunya menyebar di tiap mall yang ada di Jakarta ini. Itu mah gak fair,Wak. Tapi kalau kulancarkan protesku, dia hanya tertawa terbahak-bahak sampai matanya berlinang air mata.

Menjadi seorang ibu adalah pengalaman paling ajaib yang pernah terjadi pada diriku. Setelah sepuluh bulan setengah janin-ku belum lahir juga, dokter kandunganku akhirnya memutuskan untuk “memaksanya” keluar. Operasi caesarku enam tahun lalu adalah operasi pertama buatku. Seumur hidup belum pernah aku masuk ke kamar operasi. Tak sampai 30 menit, lahirlah Shabrina bidadari kecilku dengan tangisan keras seakan protes karena “dipaksa” melihat dunia. Tak pernah kubayangkan bayi kecil itu ternyata langsung mengubah Eva 180 derajat. Melihat bayi itu tidur dalam pelukan membuat diri ini tidak berarti apa-apa tanpa dirinya. Hilang sudah egois-ku, kekanakan-ku, harga diriku, yang ada hanya dia. Tertatih sebagai ibu baru, aku belajar mengasuhnya sendiri. Kususui dia dengan harapan besar, kuayun dia dengan cita yang tinggi dan kubelai dia dengan kasih abadi. Berpisah dengannya bisa membuatku gelisah bukan kepalang. Apalagi setiap pagi menjelang, ketika aku terpaksa meninggalkannya pada Neneknya. Kuliahku yang tinggal menjalani kerja praktek di rumah sakit mengharuskanku berpisah dengannya selama delapan jam setiap hari, tapi sungguh itu seperti seabad lamanya. Dan tangisanku –lah yang menjadikan seakan malam-malam begitu kelam ketika dia jatuh sakit.

Semua momen itu masih terbayang jelas di mataku. Bahkan masih bisa kurasakan sakitnya puting susuku yang lecet berat ketika menyusui anakku. Semua masih jelas terasa. Kesibukanku makin bertambah ketika dia mulai “sekolah”. Karena ikutan tren, aku memasukkannya ke sebuah sekolah ala bermain saat Shabrina berumur 2 tahun. Saat itu aku ikutan berlari ketika dia berlari, ikut melompat ketika dia melompat, ikut bernyanyi “the itsy bitsy spider” lengkap dengan gerakan tangannya. Dia ikut kelas toddler, akupun ikut ngintil sebagai toddler juga. Kuat gak ya aku mengulangi semua kejadian itu?. Apakah masih ada sisa tenaga untuk adiknya nanti?. Pertanyaan itu yang terus menggaung saat aku mencoba menelisik kesanggupan diri untuk hamil lagi.
Mataku kembali melirik kumpulan orang yang sedang duduk di depanku, tapi sekarang fokusnya berpindah pada kumpulan “generasi muda”-nya. Kebanyakan dari kami mempunyai lebih dari 4 orang saudara kandung. Suku kami memang mengagungkan anak. Bagi suku kami, anak adalah harta terbesar dan berguna untuk menjaga kelangsungan budaya.

Sekilas kuingat, bagaimana Mama harus susah payah bekerja membanting tulang ikut membantu Papa bekerja siang malam demi untuk menghidupi kami tujuh bersaudara. Tak jarang kulihat Mama terpaksa meloloskan gelangnya ke toko emas untuk biaya kuliah kami. Kuingat juga Mama yang terkantuk-kantuk menunggui kakak belajar sampai jauh malam, Papa yang begitu sabar melerai pertengkaran kami, dan sempitnya kamar-kamar tidur kami yang terpaksa harus dihuni oleh 3 orang didalamnya. Tapi, benar, aku tidak pernah melihat Papa atau Mama kesusahan karena tingkah kami. Selalu mereka bersikap apa adanya seperti layaknya orang tua. Mereka marah kalau kami salah, mereka menangis kalau kami kecewakan dan mereka bahagia saat kami senang. Tak ada tuntutan atau permintaan balasan pada kami.

“Tiap anak itu ada pintu rezekinya, Va” terngiang kembali kata-kata Mama ketika kami sedang mengalami kesulitan keuangan karena di PHK-nya Papa. Mama percaya itu bahkan beliau sering mengatakan bahwa dia sudah membuktikannya. “Kau mesti percaya bahwa ada tiga hal yang pasti akan selalu ada rezekinya dari Tuhan. Untuk menyekolahkan anak kita, untuk membuatkannya tempat berlindung dan untuk menikahkannya”. Percaya gak percaya, tapi kupikir benar juga isi kalimat tadi.

Mungkin tingkat ketergantungan-ku pada Alloh yang kurang kuat dibandingkan dengan orang-orang tua dulu. Kalau semua sudah disandarkan pada-Nya, maka semua hal menjadi blaur dan tidak terjelaskan. Nilai inilah yang mulai tergeser di zaman materialisme ini. Di zaman yang semuanya diukur lewat materi dan tampilan fisik.

Kekhawatiran tidak bisa menyekolahkan anak, tidak bisa memberikannya rumah yang terbaik, tidak bisa memberikannya susu dan makanan yang terbaik, itulah sebenarnya awal semua ini. Tapi bukan berarti dulu orang-orang tua kita tidak punya kekhawatiran seperti ini juga. Mereka pun mempunyai kekhawatiran yang sama. Tapi mengapa mereka seakan tidak tergoyahkan?. Bukankah selama ini mereka - orang-orang tua kita – juga sudah memberikan yang terbaik buat kita ? Pendidikan terbaik, rumah terbaik bahkan makanan terbaik. Kemudian apa yang membedakan kita sekarang dengan mereka dulu?. Zaman-kah yang berubah ?. Tapi haruskah keyakinan bersandar pada-Nya pun harus berubah?

“Tante bunda, kenapa sih rambut Kakek warnanya putih semua?” tau-tau keponakan-ku yang baru berumur lima tahun sudah berada didepanku dengan tampang lucunya. Kupandangi wajah tengilnya. Dan kududukan dia ke pangkuan. Andai saja dia sudah mengerti maka akan kujelaskan panjang lebar bahwa rambut putih Kakeknya adalah bukti kerja keras beliau menghidupi kami semua, anak-anaknya..

Labels:

Tercenung kupandangi wajah berkacamata didepanku.

“Aku gak biasa meminta sih. Masa untuk beli bedak aja aku harus minta ke suamiku..”
Siang itu adalah siang yang panas, ditambah dengan keriuhan khas kantin sekolah, disanalah aku dan dua orang teman sedang mengisi waktu sambil menunggu anak-anak kami pulang sekolah.


“Mungkin kamu gak risih untuk melakukan itu,Va. Tapi sejak kuliah aku sudah mandiri. Uang kuliah kucari sendiri tanpa minta orang tua lagi. Mungkin karena itu aku sekarang memutuskan bekerja juga..”
Kupandangi lagi wajah itu. Yah, baru sekitar setengah jam ini kami mengobrol akrab. Biasanya kami hanya bertukar senyum layaknya dua ibu yang kebetulan saling berpapasan. Hari ini adalah hari pertama masuk sekolah pasca liburan panjang Lebaran. Buat kami, para ibu yang biasa mengantar dan menunggui anak di sekolah, rutinitas ini membuat kami sering bertemu. Tapi lain halnya dengan hari ini, bermunculan-lah muka-muka “baru” yang biasanya hanya muncul ketika penerimaan raport. Pertemuan dengan dua teman ngobrolku kali ini juga dimulai dengan sapaan saling bertukar kabar yang akhirnya disepakati untuk minum jus bersama di kantin sekolah.


Emang enak sih, bisa mengurus anak sendiri, mengurus rumah sendiri. Gak usah pusing kayak aku sekarang. Tiap abis Lebaran, pasti masalah pembantu dan suster yang bikin mumet kepala. Terpaksa deh harus cuti, harus ngepel sendiri, nyapu sendiri, jemput anak sendiri. Jadi upik abu deh setahun sekali..” sekali lagi pemilik wajah itu tertawa lepas.

Anganku melayang pada mama yang tinggal berlainan kota denganku. Bekerja adalah hidup buat mama. Hampir separuh usia beliau abdikan dirinya pada departemen milik negara. Kenapa seakan aku menemukan sosok mama pada temanku hari ini. Berlainan denganku, mama adalah seorang wanita pekerja. Dia selalu bangun sebelum subuh jauh sebelum anak dan suaminya bangun. Walau kami punya pembantu, tetap saja mama sibuk menyiapkan sarapan di dapur. Mengaduk susu, mengulek bumbu nasi goreng dan sebagainya. Dan tepat ketika jam besar kami berdentang enam kali, mama langsung pergi membelah keriuhan kota. Ingatanku akan mama adalah saat dimana mama pulang menjelang maghrib dengan beragam tentengan oleh-oleh untuk kami. Dan panggilannya kepadaku ketika menjelang Isya untuk memijit kakinya membuatku rindu harum minyak tawon miliknya.

“ Capek sih kerja kayak gini. Tapi aku gak bakal tahan kalo gak megang duit, Va. Belum lagi membayangkan harus di rumah seharian. Bisa bosen aku !”
Kali ini anganku kembali melayang jauh pada seorang Bi Neng yang sudah puluhan tahun mengabdi sebagai pembantu di rumah mertuaku. Sosok agak pincang yang selalu tersenyum walau ada memar lebam di wajahnya. Satu-satunya alasan ibu mertuaku masih mempekerjakan Bi Neng walau dia sudah tua adalah Siti, anak semata wayang pasangan Bi Neng dan Mang Karja. Siti adalah seorang gadis manis kelas 2 SMA yang sering kumintai bantuan untuk membantuku menjaga Shabrina di rumah ketika aku harus bepergian. Sering ketika dia datang, wajahnya kelabu. Dan tanpa penjelasan apapun darinya, aku sudah tahu bahwa penyebabnya adalah pertengkaran orang tuanya. Pukulan demi pukulan yang sering dilakukan oleh Mang Karja yang penjudi itu kepada istrinya-lah yang kupikir membuat Siti menjadi anak pendiam dan tertutup.
Padahal kamu kan dokter gigi, Va. Gak pengen tuh praktek?. Aku ada temen loh yang punya klinik gigi. Mungkin kamu bisa kurekomendasikan untuk praktek disana”
Aku hanya bisa tersenyum sambil menghirup jus jeruk di depanku. Tak sengaja kulihat kening mulusnya berkerut dan sambil mendecak-decakkan mulutnya dia geleng-gelengkan kepalanya.


“Kan enak, Va, bisa Bantu-bantu suami. Bener deh kalo aku gak kerja mungkin sampe sekarang kami belum bisa punya rumah”
Sembari memainkan jari, kembali lagi pikiranku melayang. Kali ini tertambat pada momen romantis enam tahun lalu; “lamaran koboy” ala Rais yang kini jadi suamiku. Pagi masih dingin sekali di kaki gunung Halimun, ketika serombongan pencinta alam dari Universitas Indonesia bersiap berangkat menempuh perjalanan mendaki gunung berkabut itu. Aku yang baru saja dilantik sebulan lalu menjadi anggota kelompok ini masih gelagapan membenahi bawaanku. Ketika nyaris saja aku menjatuhkan carierku karena salah posisi, tak disangka sepasang tangan menahannya dan si pemilik tangan langsung menyambungnya dengan pertanyaan: “Maukah kamu jadi ibu buat anak-anakku?”. Walau kami berjalan menembus kabut tapi tak pernah kurasakan pagi sehangat hari itu dalam hidupku. Enam bulan kemudian kuputuskan untuk mengikatkan diriku selama-lamanya dalam pernikahan kami.


“Bisa aja sih aku berhenti kerja sekarang. Tapi kayaknya gaji suamiku gak bakal cukup deh untuk kebutuhan sehari-hari. Apa-apa kan mahal sekarang.”
Tak terasa mataku menajam memperhatikan gerombolan murid-murid SMA yang sedang asyik ngobrol sambil bertukar lagu dengan HP- nya. Aku jadi terkenang pada Emak; nenekku yang masih terus memanjakanku walau aku sudah SMA. Bertolak belakang dengan mama, Emak -yang adalah ibunya- adalah seorang guru Sekolah Rakyat (setara SD di zaman Belanda) yang akhirnya memutuskan untuk berhenti mengajar ketika anak bungsunya lahir. Pernah dulu aku sering tak habis pikir, bagaimana bisa Emak yang tidak berpendidikan tinggi bisa mengantar ketujuh anaknya -empat laki-laki dan tiga perempuan- menjadi sarjana semua. Kalau kutanyakan hal itu, tak ada satupun jawaban terlontar dari mulut Emak kecuali tangannya yang langsung mendekapku dalam pelukannya yang seakan tak berujung. Sedangkan Abak -kakekku- adalah seorang mantan pejuang yang tidak pernah mau tahu “urusan perempuan”. Badannya yang masih tegap sampai sekarang, masih kuat digunakan mengayuh sepeda tiap pagi. Untuk cucu-cucunya, Abak bukanlah tempat bermanja walau terkadang sering kulihat dia termenung-menung memandangi album foto keluarga besar kami.


“Ah, kalau saja kita yang perempuan-perempuan ini tidak harus dibebani sekian banyak tanggung jawab, mungkin kita bisa jadi diri sendiri, ya Va. Enggak harus dibebani kerja, anak, suami atau rumah. Menurut kamu gimana, Va?”
Krriiiiiiiiiiiing…………Deringan bel panjang membuatku tidak bisa menjawab pertanyaan pertama darinya buatku di obrolan panjang kami siang ini. Dan ketika aku berbalik dari tempat duduk, kulihat seorang anak keriting berkuncir dua mengembangkan tangannya sekaligus tak lupa berteriak keras “Bundaa…….”

Sambil kugandeng tangan kecilnya, kujawab dalam hati pertanyaan temanku tadi bahwa menjadi siapapun tidak menjadi soal buat seorang perempuan. Yang penting adalah bagaimana kita akhirnya bisa bahagia dengan pilihan kita, bisa tersenyum ketika menjalani konsekwensinya dan bisa bersyukur ketika menyelesaikannya. Aku belajar banyak dari Mama, Bi Neng, Emak, bahkan dari diriku sendiri.

Labels:

Jangan pernah deket-deket sama orang negatif !

Maksudnya apa ? Orang yang negatif adalah orang selalu melihat sesuatu atau seseorang dari sisi kekurangan atau kelemahan saja. “Wah, masih gemuk kok, Va, katanya udah diet ?”, “Kayaknya baju itu terlalu rame deh, coba dikurangin rendanya”, “Menurutku pendapat kamu itu mustahil. Padahal waktu kita sempit”, “Kamu sih pake kurir lokal, coba pake yang internasional gak bakalan barangmu gak nyampe kayak sekarang
Capek ?..iya capek bener kan dengerin semua komentar “orang negatif” dengan semua pendapat dia yang “kayaknya”, “menurutku”, “Seandainya..”.

Biasanya orang negatif adalah seorang pengkritik tulen. Dia menyangka bahwa dirinya yang paling benar, dirinya yang paling hebat. Padahal diatas langit masih ada langit kan ?..Seorang pengkritik juga bukan seorang pemimpin. Karena seorang pemimpin pasti mempunyai hati yang luas dan lapang untuk melihat kemampuan orang lain. Seorang pengkritik juga bukan orang tua yang baik, karena orang tua selalu punya welas asih dengan anaknya. Seorang pengkritik juga bukan seorang organisatoris yang baik kaena dia tidak bakal bisa bekerjasama dengan siapapun. Seorang pengkritik jangan sekali-kali dijadikan teman karena dia pasti akan membuat kita menjadi “pecundang” terus.

Seorang pengkritik juga biasanya tidak pernah mau belajar lebih jauh tentang sesuatu yang dikritiknya. Karena seandainya saja, dia adalah seorang yang gemar melihat lebih dalam maka tidak ada sesuatu pun di dunia ini yang pantas dikritik. Karena yang kekurangan/kelemahan adalah sisi lain dari kelebihan. Dan kekurangan adalah jamak terjadi pada diri manusia yang hamba Alloh ini. Bahkan ada yang bilang bahwa keunggulan masusia dibandingkan makhluk lain karena dia mempunyai banyak kekurangan. Sehingga manusia diciptakan Alloh SWT sebagai makhluk pembelajar yang tidak pernah puas akan dirinya. Sifat pembelajar ini yang akan membuat manusia bertahan hidup. Ini adalah insting alami.

Apa sih bedanya kritik dengan kebohongan ? Aku selalu menganggap orang yang mengkritik ku melakukan kebohongan. Tidak perlu aku tanggapi apalagi sampai dipikirkan berhari-hari. Bikin mumet !. Sedangkan saran ? Saran adalah batu bata buat kehidupan. Jangan pernah berhenti meminta saran kepada orang lain dan jadikan hal ini sebagai kebiasaan. Wah, berarti eva anti dikritik ya ? Bukan itu. Sebagai pedagang jangankan dikritik, ditolak mentah-mentah pun sudah menjadi makanan kita sehari-hari..Tul kan ya Bun ?..Tapi kritikan berbeda jauh dengan penolakan. Karena penolakan adalah sebuah peluang tersembunyi, sedangkan kritikan adalah “sampah” buat ku. Ketika ditolak, maka kita pasti akan terus berfikir untuk melihat apa yang perlu dibenahi, misalnya apa yang tidak menarik dari cara promosiku, apa yang belum pas dari presentasiku, atau apa yang membuat calon prospek tidak jadi mengikuti program ku. Nah, dengan mengevaluasi sebuah penolakan, biasanya datang kreativitas yang tidak terduga untuk kembali memperbaiki kesalahan kita dikemudian hari.

Yang paling parah kalau seseorang mengkritik kita dengan mengada-ada. Seperti dicari-carinya kesalahan “kecil” kita diantara seabreg keberhasilan kita yang lain. Ini yang syusyeh…Karena apa ? Yang namanya energi negatif pasti akan cepat menyebar seperti halnya juga energi positif. Jadi ketika dia menyatakan kekurangan “kecil” kita tadi, biasanya orang-orang di sekeliling yang kebetulan mendengar pasti juga akan mengiyakan. Dan energi negatif ini juga akan cepat menyebar dalam diri, visi dan hati kita bila tidak cepat-cepat kita mengenyahkannya.

Jadi, jangan pernah deket-deket sama tukang kritik…Apalagi menirunya…Karena bisa dipastikan tukang kritik tidak akan pernah berhasil dalam hidupnya. Pasti !

Labels: