Mangap juga ada Artinya
Thursday, April 24, 2008
Aku pernah dihina, dilecehkan bahkan diremehkan oleh seseorang. Mungkin orang yang menghina ku tadi tidak sadar bahwa kata-katanya bukan hanya sekedar menyakiti hatiku tapi juga membunuh jiwaku. Baru kusadari begitu tajamnya arti sebuah tindakan kita terhadap orang lain.
Bagi kita kata-kata yang keluar dari mulut kita hanya berakibat sementara pada orang lain, padahal bagi beberapa orang sederetan kata-kata dapat melubangi hatinya, persis seperti paku yang melubangi dinding. Tidak bisa ditambal lagi, bekasnya tetap ada di sana bertahun-tahun.
"Tidak bisa, 1 jam atau 3 jam tarifnya tetap 3 juta rupiah", kata seorang asisten psikolog terkenal padaku , sebuah pen-tidak-an yang sangat menyakitkan hatiku. Langsung kurasakan otomatis pandanganku terhadap sang psikolog berubah menjadi kata-kata yang berlabel "uang". Sakit hatiku bukan karena aku kecewa kepada si psikolog, tapi hati ini sakit karena ternyata begitu "tinggi" selama ini aku memandang seseorang.
Benarkah tidak ada kata-kata yang sopan untuk menyatakan sesuatu ? Apa ya untungnya menyakiti hati orang lain ? Puas melihat orang lain menangis ? Puas melihat orang lain tertekan ? Atau cuma sekedar pelampiasan dari sebuah masalah dalam hati yang belum juga selesai sejak dulu ?
Aku selalu beranggapan orang yang tidak bisa mengendalikan emosinya adalah orang yang bermasalah dengan dirinya sendiri. Tapi begitu mudahnya seseorang bisa seenaknya melemparkan masalahnya itu menjadi "masalah" buat orang lain. Orang lain jadi susah hati menangkis serangan kata-kata pedas darinya.
Tidakkah seseorang sadar, bahwa apa yang dia ucapkan adalah cerminan buat dirinya ? Ini bukan sekedar masalah bisnis atau masalah uang, tapi kalimat yang meluncur keluar dari mulut kita akan mempengaruhi bagaimana orang lain berinteraksi terhadap kita.
Jangan sangka bahwa yang namanya kata-kata pedas itu hanyalah berupa kata "Bangsat kamu", "Kurang ajar loe" atau "Bagero" saja. Bahkan sebuah kata "Pokoknya", "Harus", "Saya yang berkuasa", bisa lebih tajam dari pisau.
Berhati-hatilah di kala kita sedang mengkomunikasikan maksud dan tujuan dari kalimat kita. Bahwa yang namanya komunikasi adalah di kala tercapai pemahaman diantara sang pemberi dengan sang penerima komunikasi.
Kalau yang terjadi bukannya pemahaman tapi malah kemarahan, "Itu mah namanya ente asal mangap doang !"..
Pasfoto Terbaru Bubuy :)
Wednesday, April 23, 2008

Buuuyyy...
I love you yesterday, now, tomorrow
and forever...

(guantengg kan bojoku hik hik..jadi pengen...hmmmh)
Pembuktian Diri
Friday, April 18, 2008
Bingung juga menghadapi seseorang yang merasa perlu membuktikan sesuatu kepada orang lain, kepada dunia. Dia beranggapan orang lain memandang dirinya berdasarkan sesuatu yang menempel pada tubuhnya, pada hidupnya. Mudah sekali orang model begini tersinggung ketika berhadapan dengan orang lain yang dia anggap sudah menyenggol harga dirinya.

Orang seperti ini biasanya mengatakan bahwa dia punya harga diri yang tinggi, tidak bisa orang lain sembarangan memperlakukan dirinya. Dia menetapkan standar diri yang tinggi untuk dirinya pada saat dia berinteraksi dengan orang lain.

Susah... Karena tidak semua orang bisa menakar berapa "harga" orang lain itu. Toh kita sama-sama manusia, tapi kenapa sesama kita harus menetapkan harga atas yang lain apalagi hanya sekedar memberi label dengan yang namanya materi ?

Orang yang menetapkan harga untuk dirinya, orang yang selalu ingin membuktikan dirinya kepada orang lain, adalah orang yang tidak pernah melihat keatas dan menunduk ke bawah. Yang dia lakukan hanyalah memandang ke depan tanpa peduli apakah langit diatasnya mendung atau apakah ada lubang di depan kakinya.

Saat hati manusia begitu lembut seperti kapas, begitu mudah tersentuh dengan orang lain, begitu mudah simpati kepada penderitaan orang lain, maka yang namanya harga diri, pembuktian kepada orang lain bukan lagi menjadi hal yang penting. Karena orang-orang yang merendah seperti ini tidak memerlukan lagi dihormati dan disegani oleh orang lain cuma gara-gara sesuatu yang menempel di badannya.

Orang yang rendah hati tidak peduli apakah orang lain tahu siapa dirinya, seberapa kaya dirinya, seberapa hebat dirinya. Mereka tidak peduli dengan pandangan mata dari orang lain. Orang yang rendah hati adalah orang yang mulia karena memang mereka sudah mulia, karena mereka mulia dimata Alloh SWT.

Kalo aku ditanya bagaimana cara aku membuktikan diriku, jawabku adalah; aku tidak perlu membuktikan apapun karena aku sudah punya segalanya dari DIA
Shock, Kaget dan Sedih
Tuesday, April 15, 2008
Kemaren sore dapat musibah dari Alloh SWT. Mobilku yang sedang manis terparkir di depan tempat kursus Kumon Brina ditabrak dari belakang oleh sebuah motor. Pengendara motor tadi seorang mba (pembantu) yang belum fasih mengendarai motor. Gawatnya lagi dia tidak punya SIM juga KTP dan yang lebih bikin pusing STNK motor tadi sudah tidak berlaku sejak tahun 2006.

Satpam ruko tempat kursus menyarankan kepada ku untuk melaporkan hal ini ke kantor polisi. Tapi aku kesian banget liat muka si mbak yang ketakutan. Akhirnya aku memutuskan untuk menyelesaikan hal ini secara kekeluargaan saja. Aku berinisiatif untuk membawa si mbak dan motornya ke rumahku dan kemudian menyuruh si mbak untuk kembali datang ke rumahku nanti malam bersama majikannya untuk mengambil motor dan mempertanggungjawabkan hal ini.

Gak disangka, sehabis maghrib, datang 2 orang ke rumahku mengaku sebagai suruhan si pemilik motor (majikan si mbak). Satu orang mengaku bernama kapten Irfan bekerja di Lantamal 3 dan satu orang lagi tidak memberitahukan namanya tapi hanya mengaku sebagai kasatserse polisi. Kedua orang ini langsung marah-marah dan menuduh aku sudah mencuri motor milik bossnya yang ternyata juga adalah anggota TNI AL berpangkat mayor (Mayor Joni, beralamat di Komplek TWP TNI AL, blok CC2 no.1, Ciangsana).

Yang lebih mengagetkan kedua orang ini berteriak-teriak di depan rumahku dan menekan aku secara verbal. Kedua orang ini berteriak-teriak mengenai "harga diri yang terinjak-injak", "orang kaya dan orang miskin", "biar kami tidak tinggal di komplek tapi kami juga warga negara Indonesia", dan macam-macam perkataan yang sama sekali tidak ada hubungannya dengan kasus tabrakan yang terjadi. Bahkan mereka juga mengancam akan membawa aku ke kantor polisi karena sudah menghina ABRI dan mencuri motornya.

Saat itu yang aku lakukan hanyalah diam. Aku langsung masuk ke dalam rumah dan duduk di kursi. Ya Alloh, aku harus gimana ? Kalo aku balas perkataan mereka, apakah ada gunanya ?, toh aku tidak punya masalah dengan kedua orang itu, aku bermasalah dengan si mbak dan majikannya, apakah berguna bila aku balas perbuatan 2 orang di luar itu? Padahal mereka hanyalah orang-orang suruhan, sebenarnya aku kasihan pada mereka....

Tidak lama datang kepala satpam clusterku bersama pak Fauzi, seorang pengurus RW, mereka menanyakan kepadaku duduk persoalan yang terjadi. Aku ceritakan secara singkat, Tapi aku tetap berkeras tidak mau menemui lagi 2 orang yang berteriak-teriak di luar. Entah negosiasi apa yang kepala satpam dan pak Fauzi lakukan, akhirnya mereka memutuskan untuk menyelesaikan masalah ini di rumah ketua cluster kami.

Di rumah ketua cluster (yang kebetulan adalah seorang pamen AL) kedua orang ini ditanyai apa maksudnya membuat keributan di depan rumahku. Baru saat itulah aku melihat betapa yang namanya jabatan, kekuasaan, pangkat bisa mengalahkan segalanya. Kedua orang yang tadi garang dan kasar, langsung mengkeret ketika berhadapan dengan ketua clusterku yang seorang panglima menengah. Baru sekali itu aku merasa bahwa ada gunanya juga ternyata yang namanya bintang di bahu.

Duh, apa begini ya Indonesia-ku? Kenapa semuanya harus diselesaikan dengan embel-embel ? Tabrakan selesai gara-gara bintang, masuk perusahaan besar karena jadi titipan mantu menteri, mau cepat sampai sehingga berani menerobos jalur busway karena lambang MPR di plat mobilnya, dsb, dsb...

Sedih aja, apakah permasalahan tidak bisa diselesaikan dengan baik-baik, dengan duduk bareng, sejajar tanpa peduli, apakah saya hanya masyarakat sipil, apakah saya militer, apakah saya miskin, apakah saya kaya, apakah saya tinggal di real estate, apakah saya cuma tinggal di komplek ABRI yang merupakan bantuan inpres ?

Shock, kaget dan sedih. Sekarang aku gak peduli lagi dengan mobil yang penyok di belakang, aku cuma merasa diri ini tiba-tiba menjadi hampa melihat kenyataan yang terjadi. Apakah tidak bisa manusia saling menghargai ? Apakah sebegitu susahnya untuk duduk bersama memecahkan persoalan ?

Enggak ngerti ...

(Aku berharap ada hikmah untuk semua ini. Kasih tau ke teman-teman kita, supaya kejadian ini gak terulang lagi. Jangan sampe karena gak tegaan dan kesian, kita malah diteriakin maling )
Decor Cake
Wednesday, April 09, 2008
Tanggal 6 April kemaren ikutan decor cake yang diadakan oleh Orange Kitchen. Secara daku gak pernah pegang sama sekali yang namanya spuit dan piping bag, membuat diri ini rada terbengong-bengong ketika kursus dimulai.

Apalagi melihat kelincahan teman2 lain yang sudah pernah melakukan hal ini.. Hmmmmh gimana pun karya ku ya hasil kreativitas ku sendiri..Harus itu !. Ternyata mendecor cake itu butuh keluwesan tersendiri, bagaimana memegang piping bag agar stabil, bagaimana sudut kemiringan piping bag agar menghasilkan bentuk yang bagus, bagaimana harus sedikit menahan nafas ketika spuit mulai disemprotkan..dsb, dsb.

Alat-alat mendecor yang begitu beragam, mau tidak mau mengingatkan aku saat kuliah dulu. Alat-alat kedokteran gigi yang begitu mengagumkan dengan bentuk yang unik dan memiliki fungsi masing-masing.

Di rumah, tadi malam, iseng pengen praktekin hasil kursus ini. Dengan resep ganache yang aku dapat dari temen kursus kemaren, dan sisa-sisa butter cream yang aku kumpulkan, aku beli patung-patung Princess di toko bahan kue dekat rumah...



Semalaman kue hasil praktek ini berada di kamar Brina. Seneng juga ternyata membuat anak bangga dengan hasil karya bundanya. Seneng aja melihat muka suamiku yang heran melihat dekorasinya, "Kok bisa ada sungainya begitu ya jeng?"...

Aku menemukan keasyikan tersendiri dalam mendekor kue ini. Yah walau belum begitu rapi, tapi aku merasa menemukan kesenangan menggambar ku yang dulu. Terimakasih buat para guru kursus ku (mba Ina, teh Uceu, mba Wiek). Kalian membuatku menemukan "sesuatu" yang lama terpendam.

NB:Pas kursus ada surprise buat aku. Terus terang aku bukan orang yang senang dapat surprise seperti itu. Tapi entah kenapa kemaren hati ini berbunga :)
Pembaca Baru
Friday, April 04, 2008
Ada seorang pembaca baru blog ini yang menurut dia "bisa tahu kabar eva dari blognya"...

Pengen ketawa sih tapi pengen juga meringis, sudah begitukah enggan nya kita untuk sekedar menelepon orang lain untuk menanyakan kabarnya ? Apakah bertukar kabar itu bisa digantikan oleh sebuah blog ?

Terus terang aku membuat blog ini bukanlah untuk menggambarkan bagaimana kehidupanku sehari-hari. Blog ini murni seratus persen hanya sekedar untuk menampung luapan-luapan ide yang terkadang hendak tumpah keluar. Aku bukan tipe orang yang bisa memajang "barang baru" yang aku miliki di blog ini. Memajang rumahku, memajang mobilku, memajang keluargaku, memajang gelar yang aku dapatkan. Hmmh apakah sudah sebegitu pantasnya aku memberitahu orang lain tentang "materi tak seberapa" yang aku miliki ? Apakah cerita-cerita sepele tentang sepatuku tentang cat rumahku, misalnya, bisa memberikan hikmah buat orang lain ?

Kalaupun ada beberapa foto, suami dan anakku berada disini, bukan karena aku ingin pamer tapi karena saat itu mungkin kerinduan dan perasaan ku kepada mereka sedang tak tertahankan. Dan hanya bisa aku lampiaskan lewat beberapa bait tulisan di sini.

Blog ini adalah cermin dari bagaimana aku ingin sekali orang lain mengenal eva dari sisi lain. Mungkin itulah yang aku ingin "pamerkan" disini. Mungkin itulah yang aku ingin bagikan kepada para pembacaku.

Buat saudara, teman dan kerabat yang ingin tahu kabarku. Insya Alloh tinggal angkat telepon (dengan nomor HP yang tahunan tidak pernah aku ganti), dan mari kita ngobrol panjang lebar !...
Kalau ada yang tanya apa yang paling aku takuti di dunia ini, maka "kesepian dan kesakitan" adalah jawabannya. Bukan "ditinggalkan", bukan "miskin", apalagi sekedar "merugi" yang merupakan ketakutan terbesarku.

Aku sadari aku termasuk orang yang sangat "tergantung" kepada orang lain. Aku adalah orang yang paling senang "menjalin" sesuatu dengan orang lain. Buatku sebuah hubungan adalah sesuatu yang bisa membuatku bertahan hidup. Mungkin efek "ditinggalkan" tidaklah sebesar efek "tidak punya teman" buatku. Efek "dibuang atau dicampakkan" tidaklah memberi pengaruh terlalu besar buatku.

Bagaimanapun aku sadar bahwa segalanya ini adalah milik Alloh SWT, semuanya adalah titipan, semuanya semu. Dan ketika ada sesuatu milik Nya meninggalkanku maka itu adalah sepenuhnya hak DIA. Kata seorang guru, "kalau bukan dunia yang akan meninggalkan kita, maka kita-lah yang akan meninggalkan dunia. Tergantung mana yang diambil duluan oleh Nya". Aku sadar sesadarnya tentang hal ini, maka aku tidak pernah mengikatkan diriku pada sesuatu.

Tapi ketika aku merasa tidak berdaya untuk menjalin hubungan dengan seseorang maka aku akan jadi terpuruk. Menurutku setiap orang di sekeliling ku pasti akan mempunyai hubungan dengan ku. Apakah itu hubungan "baik atau buruk". Setidaknya hubungan itu jelas, sehingga aku tidak perlu menduga dan mengira-ngira bagaimana harus bersikap kepadanya.

Biar bagaimanapun buruknya hubungan atau bagaimanapun baiknya hubungan, setidaknya itu memberi arti buat hidup ku. Ini menjadikan hidupku menjadi tidak sepi, hidupku menjadi penuh hikmah dan pelajaran yang bisa aku ambil dari orang-orang di sekitarku.

Sedangkan kesakitan ? Aku paling takut menjadi sakit karena diriku sendiri, bukan karena kesakitan yang disebabkan oleh orang lain. Kesalahan yang berulang dua tiga kali adalah kesakitan terbesarku. Sedapat mungkin aku tidak mau mengulangi kesalahanku. Apalagi kalau itu menyangkut perasaan atau hidup orang lain.

Karena aku paling takut dengan sepi dan sakit, maka aku berusaha sekuat mungkin tidak menjadikan orang lain merasa sepi atau sakit karena ku. Aku tidak akan segan-segan menyambut sebuah uluran tangan persahabatan ataupun permusuhan yang orang tawarkan kepada ku. Aku pun berusaha sekuat mungkin untuk berbuat hati-hati agar orang lain tidak menjadikan dirinya sakit karena ku.