Rese deh Kamu
Wednesday, March 26, 2008
Rese deh kamu !
merasa paling tahu tentang apa yang aku inginkan
sudah seberapa dalam kamu mengenal aku ?
apakah kamu pikir hubungan selama tahunan itu
sudah membuat kita berdua saling mengenal ?

Biarkanlah aku sendiri menentukan apa yang paling baik buat diri
baik atau jelek hasilnya, itu resiko ku seratus persen
lagipula siapa orang yang berani bilang
kalo keputusan hidup yang sudah aku ambil itu
gagal atau berhasil ?

Apa sih ukuran keberhasilan buat kamu ?
hmmh apakah dengan menjadi seorang "seperti kamu"
maka itu adalah satu-satunya ukuran keberhasilan di dunia ini ?
aku adalah aku dan aku tidak mau jadi seperti kamu

Kamu bilang hidupku pun tidak lebih baik dibanding hidup kamu ?
ahhh itu perasaan mu saja
aku merasa dicintai, aku merasa dibutuhkan
itu sudah cukup buatku

Kalau kamu bilang aku sudah gagal
maka aku balik tanya apakah hidupmu sudah berhasil ?
apa yang sudah kamu "catatkan" dalam hidup mu ?
dalam puluhan tahun hidupmu ?

Untung saja aku cukup mengenalmu untuk memaklumimu
kalau saja tidak,
bisa saja kutendang kamu jauh-jauh dari hidupku
"Pergi sana, orang rese !..."

Terus terang
tidak ada tempat buat orang seperti kamu
aku cuma butuh orang yang bisa menilai ku
dengan fair
bukan dengan kaca mata cengdem milik nya sendiri
yang belum tentu jernih...
Apa yang menyebabkan seseorang itu "ada" ? Apakah karena kemewahan pakaian yang dia kenakan ? Atau karena dompet yang tebal di kantungnya ? Atau karena dia punya jabatan yang mempunyai berderet anak buah ? Atau karena gelarnya yang mentereng dan bikin orang merinding disco saking panjangnya.

Manusia disebut "ada" ketika seseorang membutuhkan dia. Walaupun orang itu mungkin hanya seorang anak kecil berambut keriting, atau walaupun orang yang membutuhkan itu hanyalah seorang laki-laki yang berjanji akan menerima seorang perempuan apa adanya dalam segala kondisi.

Benarkah ketika ada orang yang membutuhkan kita, kita akan sebegitu "muncul" nya di dunia ini ? Benarkah ketika ada orang yang membutuhkan kita, maka orang lain tidak perlu tahu apa saja yang sudah kita "sumbangkan" buat dunia ini. Cukup hanya orang-orang yang membutuhkan kita saja yang tahu apa aja yang sudah kita berikan dengan keringat, air mata dan darah kita. Cukup mereka saja ...

Aku yakin semua orang "ada" di dunia ini. Tapi manusia sendiri lah yang seringkali membuat dirinya "tidak ada". Manusia seringkali mengacuhkan orang-orang yang sebenarnya sangat membutuhkan dia. Manusia seringkali acuh tak acuh dengan orang-orang yang sangat memerlukan dia. Manusia lah makhluk yang diciptakan paling lalai di dunia ini. Manusia lah makhluk yang selalu dan selalu tidak sadar dengan "keberadaannya" sendiri.

Mungkin "keberadaan" itu, eksistensi itu, tidak perlu kita cari jauh-jauh. Tidak perlu kita melihat keluar rumah kita untuk mencari eksistensi kita, aku yakin eksistensi seorang manusia yang sebenarnya ada pada orang-orang yang dia cintai yang berada di sekelilingnya.

Ada seorang istri yang mengeluh kepadaku kalo suaminya tidak pernah lagi memperhatikan dirinya, tidak pernah lagi memperhatikan keberadaannya. Suaminya sudah tidak peduli lagi dengan dia. Ada atau tidak nya sang istri tidak dipedulikan oleh sang suami yang dibungkus dengan kalimat "percaya". Bukankah keberadaan itu bukan berasal dari orang lain ? Tapi karena memang kita-lah yang membuat kita menjadi "ada" ?

Bagaimana bila seorang manusia merasa "hilang" ?. Mungkin akan ada lubang dalam diri kita laksana puzzle besar yang potongannya entah harus dicari di mana. Limbung, kosong, hampa, adalah perasaan yang tepat saat itu.

Eksistensi tidak perlu kita cari jauh-jauh, cukup saja kita bertanya pada diri sendiri "Apakah aku sudah cukup berarti buat orang lain ?". Bila jawabannya "Tidak" atau "Belum" maka tanyakanlah sekali lagi " Apa yang paling dibutuhkan oleh orang lain yang bisa aku berikan untuk mereka ? Kasih sayang ? Perhatian ? Cinta ? Materi ? Ketulusan ? Lapang dadanya kita ? atau Waktu ?"

Hanya kita yang bisa menjawab...

*cintakuteramatdalambuatorang-orangyangsudahmenjadikanaku"ada"*
Penakut
Tuesday, March 18, 2008
Aku sama sekali gak pernah marah kalo dibilang sebagai penakut. Sama sekali gak pernah marah juga kalo dibilang "kurang berani ambil resiko". Gak pernah tersinggung juga kalo ada yang nyebut aku "maunya main aman".

Dari dulu aku emang penakut. Takut naik sepeda sendirian di jalan raya, takut kalo harus bolos bareng temen-temen di SMP dulu, takut telat karena musti dihukum lari keliling lapangan, takut nyontek karena takut dosa, dan sampe sekarang pun seringkali takut untuk mencoba hal-hal baru yang orang lain bilang namanya "tantangan".

Orang bilang hidup itu biar dinamis harus terus mencari tantangan. Orang bilang juga resiko akan membuat hidup kita lebih berwarna. Orang bilang juga dengan menantang resiko kita akan tahu seberapa besarnya potensi kita. Orang bilang juga kalo hidup tidak ada tantangan berarti bukan hidup lagi.

Bah, aku sama sekali gak peduli dengan omongan orang. Bagiku yang namanya tantangan hidup bukan lah sesuatu yang harus aku cari-cari. Hidupku saat ini sudah cukup repot "diganduli" dengan berbagai tanggung jawab dan kewajiban yang harus aku lakukan dalam peran sebagai manusia, perempuan, anak, tetangga, saudara, anggota masyarakat, istri dan bunda. Tantangan jenis apa lagi yang harus aku cari sekarang ? Semua kewajiban dan tanggung jawab ku sekarang saja sudah menguras habis energi ku sampai titik terakhir. Aku sama sekali tidak punya energi untuk mencoba tantangan baru yang kata orang akan membuat kita lebih "hidup" lagi itu.

Aku juga tidak mengerti kenapa aku harus mencari tantangan. Selama ini kesulitan apapun yang berkaitan dengan semua peranku tadi selalu aku hadapi dengan gagah berani. Aku tidak pernah lari di depan semua gunung yang aku daki ketika aku menjalani semua peranku. Tapi untuk mencari tantangan baru ? Sepertinya bukan "aku banget".

Apa mungkin orang yang senang mencari tantangan baru itu adalah orang yang sudah merasa cukup bagus dalam menjalani perannya di pentas sandiwara hidup ini ?. Apakah mungkin dia sudah merasa sudah bagus menjadi seorang ibu sehingga dia merasa bisa menjalani "keinginan pribadinya akan materi" dengan meninggalkan anak-anaknya dengan pembantu di rumah ? Apakah mungkin dia sudah merasa bagus sebagai seorang suami, sehingga dia merasa bisa meninggalkan keluarganya untuk menjalani "keinginan pribadinya akan karir" selama hampir 24 jam di luar rumah ?

Hmmh adakah orang lain yang bisa menggantikan peran kita dalam kehidupan ini ?. Benarkah sebuah peran dalam panggung sandiwara hidup ini bisa digantikan oleh orang lain ?

Mungkin naif pikiranku. Mungkin aku bukan seorang yang suka tantangan. Apalagi kalo tantangan itu harus dicari-cari dan harus meninggalkan kewajibanku yang utama. Mungkin aku adalah seorang yang perfeksionis, yang ingin semua sempurna di mata ku dan yang ingin memberikan yang terbaik buat orang-orang di sekitarku. Aku cuma "jalan di tempat" karena ke-perfeksionisan-ku ? Aku tidak peduli, setidaknya amanah yang ada dalam genggaman-lah yang aku jalankan dengan sebaik-baiknya.
Sukses atau Tidak nya Kita
Saturday, March 15, 2008
Ukuran tiap orang tentang kesuksesan pasti berbeda. Pernah sekali membaca sebuah tulisan seorang pengamat gaya hidup tentang sukses. Bahwa seringkali ukuran sukses seseorang itu ditentukan oleh pandangan orang lain. Menurut beliau juga, ukuran sukses seseorang masa kini pun cenderung lebih seragam, punya rumah besar, mobil mewah dan keluarga yang bahagia, adalah cap sukses masa kini.

Aku sendiri total 180 derajat berubah menilai sebuah kesuksesan ketika beberapa bulan yang lalu melihat papa meninggal. Sejak saat itu luruh semua ukuran kesuksesan duniawi versi eva. Dan saat melihat seorang tetangga meninggal 7 hari yang lalu juga membuatku sedikit "membandingkan" antara kematian papa dan kematian sang tetangga ini.

Benar apa yang dikatakan oleh orang bijak, bahwa pertanyaan terpenting dalam hidup ini yaitu "Apa yang bisa saya tinggalkan buat orang lain ?". Inilah jejak yang akan membekas di hati orang lain tentang diri kita. Inilah jejak yang paling penting buat kita.

Sedih aja cuma melihat segelintir orang yang datang menyertai penguburan sang tetangga. Padahal jumlah rumah di cluster ini ada sekitar 300 rumah. Sedangkan di lain pihak, melihat betapa panjangnya iringan saudara, tetangga, dan kerabat yang mengantar saat papa meninggal. Sedih aja melihat betapa sedikitnya orang bertakziyah ke rumah sang tetangga, sedih aja berfikir "Apakah aku akan bisa membuat orang begitu mengenangku saat itu tiba ?".

Bukan berarti bahwa papa lebih sukses dibandingkan sang tetangga ini, papa juga punya banyak kelemahan sebagai manusia. Tapi bagaimana orang-orang ternyata begitu bisa kehilangan ketika kita tidak ada di samping mereka. Hal ini yang aku garisbawahi kemarin. Banyaknya shaf orang-orang yang menshalatkan kita, keramaian orang-orang yang mendoakan kita, kesedihan orang-orang saat kita tinggalkan, ternyata "jejak" ini adalah yang paling jelas terlihat saat kita meninggal.

Sungguh, orang sukses itu ternyata bisa dinilai ketika dia sudah tiada. Seberapa banyak warisan yang sudah dia tinggalkan buat orang lain. Seberapa banyak harta, ilmu yang sudah dia bagikan buat orang lain. Seberapa banyak orang yang mau dengan tulus datang mendoakan dia dan menghibur keluarga yang ditinggalkannya.

Sukses yang sebenarnya adalah ketika dosa dan siksa kubur kita bisa diringankan oleh "jejak" yang sudah kita tinggalkan di dunia. Hanya doa anak sholeh, amal sholeh yang masih berguna buat orang lain dan ilmu yang bermanfaat buat orang lain, yang bisa menyelamatkan kita dari pedihnya azab di sana.

Saat seseorang berorientasi kepada kesuksesan. Seharusnya dia tidak sukses sendirian. seharusnya banyak orang yang terlibat mengantarkan kesuksesannya, seharusnya banyak orang yang ikut sukses juga bersamanya, seharusnya kesuksesan nya itu juga dibagi untuk orang lain.

Maka ketika "kesuksesan berorientasi akhirat" ini yang menjadi tujuan hidup kita, tidak mungkin ada lagi orang yang memburu kesuksesan sampai ujung dunia tanpa prioritas tanpa mengingat orang-orang di sekitarnya.
Halimun
Wednesday, March 12, 2008
Membuka pintu jam 5 pagi ini membuatku sedikit terkejut. Kabut yang biasanya datang setelah hujan di malam harinya biasanya tidak setebal ini. Pagi ini kabut itu begitu pekatnya, jarak pandang hanya sekitar 5 meter di depan kita bahkan sesudah aku nyalakan lampu jauh mobil tetap saja jarak pandang itu tak berubah.

Satpam bilang, kabut pekat ini turun sekitar jam 3 pagi tadi. Karena begitu pekatnya, para satpam yang setia itu sempat berfikir ini adalah asap bukanlah kabut."Hati-hati, bu",begitu pesan mereka ketika aku melewati pos satpam dengan sepeda. Ini adalah sebuah "kemewahan" buatku, aku ingin menikmatinya sendiri dengan sepedaku. Aku kunci pintu rumah dan membiarkan Brina yang masih tidur di kamarnya.

Bersepeda dalam kabut membuatku merasakan sensasi yang lain. Lampu sorot sepedaku sama sekali tidak berguna saat ini. Aku hanya bisa mengayuh pelan menuju bundaran utama komplek perumahan ku. Dadaku dipenuhi udara segar juga bau-bauan tanah dan dedaunan. Segar sekali !..Di bundaran aku melihat mobil-mobil berjalan sangat pelan, lampu-lampu mobil itu bagaikan kunang-kunang dalam tebalnya kabut kali ini. Indah sungguh, saat inilah tekhnologi seperti seakan tidak berdaya menghadapi kekuatan Nya.

Tepat jam 5.30 HP ku berdering, dari ayah mengingatkan aku untuk pulang membangunkan Brina. "Kabut berhenti di gerbang utama saja, setelah itu kabut sudah tidak ada lagi di jalan transyogi", kata ayah yang ternyata sudah sampai di tol cibubur.

"Kemewahan" inilah yang aku dapatkan ketika aku membeli rumah disini. Kesegaran udara, kabut, pohon-pohon, tanah lapang berumput, lingkungan yang bersih, hal-hal inilah yang membuat aku jatuh cinta pada rumahku.

Sampai di rumah, matahari sudah menampakkan sinarnya, tapi kabut masih menggantung. Aku gendong keluar rumah Brina yang masih belum terlalu sadar dari tidurnya. Aku bangunkan dia dalam kabut di depan rumah. "Lihat Brin, ini adalah tanda keagungan Alloh. Ayo bangun, nak. Lihat kabut ini begitu indah begitu cantik"

Subhanallah !..
Biru
Monday, March 10, 2008
Seandainya warna dunia ini cuma biru saja, terbayang kalau dedaunan pun akan sangat menenggelamkan seperti halnya langit. Seandainya warna dunia ini cuma biru saja, maka titik-titik hujan pun akan membawa romantisme yang sama seperti air danau disana.

Tapi kenapa ketika sedang berhadapan dengan lelaki yang satu ini, aku selalu merasa berwarna biru. Bukan saja karena dia bisa menenggelamkan-ku dalam tatapan matanya, tapi juga karena saat berada di dekatnya aku seakan hanya punya satu kata saja untuk menggambarkan perasaan. Biru, yang dia persembahkan buat-ku bukanlah biru seperti warna yang biasa terlihat. Biru ini tidak terlalu pucat dan juga tidak terlalu maskulin, dia lembut tapi sangat menggairahkan. Dia halus tapi bisa menggelitik setiap syaraf hati-ku.

Andai saja setiap benda mempunyai warnanya tersendiri, maka lelaki ini total akan berwarna biru di mataku. Biru yang menghangatkan hati sekaligus menenangkan saat aku tercebur dalam gundah.

Andai saja yang namanya biru itu adalah satu-satunya warna yang terdapat di dunia ini, tetap saja biru-nya lelaki itu punya keistimewaan sendiri di hati. Karena biru itulah yang pertama kali menjamah hati-ku, yang pertama juga memegang tangan-ku dan yang pertama juga memeluk tubuh-ku...

I love you
now, tomorrow and forever

(buat ayah)
Komposisi
Saturday, March 08, 2008
Kemaren coba-coba beli seloyang lapis legit yang harganya sangat murah. Tidak ada prasangka ketika mencicipi kue itu. "Biar bagaimana pun yang namanya harga pasti mempengaruhi rasa", begitu pikir-ku agar tidak terlalu kecewa nantinya.

Tapi gak disangka, begitu gigitan pertama masuk ke dalam mulut-ku, langsung aku merasakan gabungan dari berbagai rasa unik menyatu di lidah. Hmmm cukup enak, walaupun teksturnya bukan seperti yang aku harapkan tapi gabungan dan komposisi bahan dasar kue begitu pas dan terasa "nagih".

Begitu pun setiap sisi kehidupan, bukan hanya kesenangan saja yang akan membuat kita bahagia dan bersyukur. Tapi seharusnya saat-saat kita ditimpa kemalangan, saat-saat kita jatuh seharusnya juga merupakan moment yang membahagiakan buat kita. Karena artinya DIA masih sayang kita, karena artinya kita diberikan kesempatan untuk naik kelas lewat kesulitan yang menghadang kita, karena artinya kita diperhatikan oleh Nya.

Apa ya rasanya ketika seorang manusia tidak "pas" komposisi hidupnya. Ataukah yang namanya komposisi hidup yang "pas" itu berada di otak manusia itu sendiri ? Ataukah yang namanya "enak", "tidak enak", dan "cukup enak" nya kehidupan tergantung dari sisi mana kita menjalaninya ?

Kemaren juga seharian aku berinteraksi dengan orang yang sangat mengagumkan. Beliau sudah melakukan berbagai hal dalam hidupnya. Mulai dari berdagang asongan sampai akhirnya sekarang di usia 50 tahun-an menjadi saudagar dengan puluhan toko di Tanah Abang.

"Hidup itu harus seimbang, Va. Harus pas antara kenikmatan dan kejatuhan. Supaya kita sebagai manusia pandai bersyukur", katanya. Betul juga pendapat itu, terkadang sebagai manusia aku merasa tidak pernah puas dalam hidup ini. Apakah ini berarti aku selalu "diatas" ? Atau aku merasa selalu "dibawah" ? Padahal yang namanya "diatas" dan "dibawah", seratus persen adalah wewenang cara pandang ku.

"Supaya hidup kita pas, supaya hidup kita seimbang, jangan sekali-sekali memakai ukuran manusia ya, Va", itu juga nasehat beliau. Duh Rabbi, seandainya aku selalu ingat bahwa hidup dan mati ini hanyalah untuk Mu, akan menjadi begitu sederhana hidup ini. Begitu sederhana karena perpaduan antara kesenangan dan kesusahan adalah hasil dari "resep" ala KAMU...

KAMU sang maha memiliki yang tidak pernah menuntut apapun dari kami-hamba sahaya MU yang hidupnya begitu bergantung kepada KAMU-
KAMU sang maha perkasa
KAMU sang maha pengasih
KAMU yang selalu memberikan apapun yang kami minta
KAMU yang begitu tahu apa yang baik dan buruk buat kami
KAMU yang memang pantas disembah

Duh Alloh, Duh pencipta-ku, jadikanlah aku manusia yang tidak mengejar mata dan pujian dari manusia
Jangan jadikan aku orang yang hina karena begitu lelah mengejar dunia ini
Buat aku menjadi orang-orang yang selalu melihat apapun yang terjadi sebagai keseimbangan dalam hidupku
Buat aku menjadi orang yang "biasa-biasa" saja, yang selalu bersyukur ketika senang dan bersyukur juga ketika mendapat musibah

Rabbi, Kekasih-ku
Buat aku jadi orang yang adil dalam memandang hidup
Buat aku jadi orang yang pas dalam menjalani hidup ini
Buat aku menjadi orang yang seimbang
Cukup bagi ku cinta MU, hidup dan matiku adalah untuk MU
Reuni
Thursday, March 06, 2008


Senayan City 29 Februari 18.30 WIB, Mall baru yang masih gress banget penampilannya.
Berjalan menuju sebuah restoran disana sambil menggandeng Shabrina membuat dada ini penuh sesak dengan perasaan mengira-ngira. "Seperti apa si A ya ?, apakah si B masih seperti dulu ?"

Duduk menunggu sambil mengunyah potongan lidah buaya dan mangga, Ketika tiba-tiba sosok lelaki tinggi besar hitam datang dengan tangan masuk ke dalam kantong. Buat orang yang sangat sensitif dengan bahasa tubuh aku merasa bahwa sosok ini bukanlah sosok yang mau diganggu sembarangan orang. Walau hati ini tahu siapa itu tapi karena bahasa tubuhnya yang tidak terbuka membuatku hanya tersenyum ketika dia tiba-tiba menengok ke arahku. Dan benar saja sosok teman itu hanya melengos tidak membalas.

Teman kedua datang dengan mata yang agak merah, memakai jaket hitam dan penampilannya masih seperti 15 tahun yang lalu. "Eva ya ?", begitu tegurnya.. Duh Alloh, kok malah aku yang lupa namanya ya. Setelah mengingat-ingat Prana dulu pernah sekelas dengan ku di kelas 3 SMP.




Ivan datang dengan gaya jalannya yang slebor dengan ransel hitam dan baju hitam. Gaya bicaranya juga tidak banyak berubah. Yang berbeda hanyalah sebuah cincin emas melingkar di jari manisnya. "Anak gue baru satu, Va..Baru 3 bulan umurnya", begitu katanya ketika dia menyalami Shabrina.

Setelah sepakat mencari meja yang lebih besar, ternyata kumpulan ibu-ibu juga sudah menunggu di sana sejak tadi, tapi karena memang penampilan yang berubah total membuat kita tidak saling mengenal. Shanti yang sudah tidak keriting papan lagi, Yulistria sudah beranak 4 dan sudah berjilbab, Era sudah beranak 2 dan sudah berjilbab juga, dan Yulia yang tambah langsing dan cantik dibanding SMP dulu.



Akhirnya satu demi satu teman-teman datang. Ada Boy Zayadi, Romi, Betty, Maya, Esti, Taufik dan istri, Teguh, Iqbal, Erwin, Rifki dan istri, Diah dan suami, Sapta, Ami, Daus, Ajo. Dan prosesi tebak nama menjadi ritual yang harus dilalui sebelum duduk di meja. Lucu juga melihatnya kening-kening kita berkerut mengingat-ingat. Tapi untuk beberapa teman, dengan ciri-ciri yang khas, aku tidak perlu mengingat dengan keras.

Malam itu kami lalui dengan tertawa-tawa saja. Tidak ada yang tidak tertawa malam itu. Mengingat masa SMP memang sangat menyenangkan. Karena di masa itu kita bukan lagi anak kecil, tapi belum juga menjadi remaja. Boleh dibilang semua tingkah laku dan perbuatan kita sangat polos waktu itu.



Yang lebih menghebohkan ketika Anna membuka album foto perpisahan kelulusan SMP. Ingat banget waktu itu kita rame-rame pergi ke AHA Menteng. Alasannya karena disitu harganya murah dan porsinya gede. Foto-foto kita dengan baju penuh coretan dengan muka yang masih culun.

Arisan Rp.100.000 digelar juga, ternyata tidak semua orang mau ikut. Aku yang biasanya anti arisan (karena sifatnya yang mengundi/maisyir), memutuskan untuk ikut atas nama pertemanan. Yah, bagaimana pun yang namanya komitmen memang harus ada ikatan nyatanya kan ?!.. Dan arisan ini adalah bentuk komitmen ku untuk selalu datang di setiap pertemuan. Insya Alloh !..



Usulku untuk mengocok arisan dengan sistem "yang paling belakangan yang dapat" ditolak mentah-mentah. Padahal sistem ini sangat seru loh, sensasi nya beda dengan arisan sistem "yang pertama keluar yang dapat"

Malam itu kami akhiri ketika tirai-tirai restoran sudah ditutup. Kayaknya masih belum puas. Kayaknya masih belum lepas. Indah pertemuan kemaren. Tidak ada tendensi, tidak ada harapan, tidak ada sangkutan. Semuanya datang hanya untuk bersilaturahmi dan mengobrol ngalor ngidul.

Pulang barengan Erwin menembus kemacetan Jakarta padahal udah jam 22.30. Di mobil sempet ngobrol juga sama Erwin. Di tengah obrolan aku sedikit merenung, mungkin percakapan antar teman SMP akan berubah setelah 10 tahun lagi. Mungkin percakapan tentang kematian, hari akhir dan ketenangan hati akan mendominasi dibandingkan percakapan tentang materi.

Kapan ketemuan lagi ?

(foto dari anna melani)


Kau adalah darah-ku
Kau adalah jantung-ku
Kau adalah hidup-ku
Lengkapi diri-ku
Oh Sayang-ku kau begitu sempurna....

(Andra&thebackbone)
Ada kok Bu...:)
Masih seperti dulu, masih merasa nyaman dengan dekapan selimut hangat
Masih merasa nyaman dengan pojok favorite di rumah ini
Masih merasa nyaman dengan segala peran setiap pagi
Masih merasa nyaman dengan segala warna-warni hati

Duh, apa ini bukannya terlalu nyaman ya ?
Ada yang bilang, saat kita sudah merasa nyaman, maka saat itulah sebenarnya manusia tidaklah "hidup" lagi.
Tapi berbeda kah yang namanya "kenyamanan" dengan sebuah "perjalanan" ?
Sebuah perjalanan yang sedang aku jalani satu demi satu, perlahan-lahan

Bukannya tidak mau "membuat hidup menjadi lebih hidup"
Tapi kehidupan sepertinya sudah memberikan nyawanya sendiri buat ku
Tidak perlu aku cari ke sana dan ke sini "huru-hara" kesibukan yang akan membuat aku menjadi lebih hidup

Aku adalah diriku
Aku hidup karena pilihan-pilihan yang sudah aku lakukan selama ini
Tidak puas ? Woww sering..
Tapi tidak mesti lantas ketidakpuasan itu membuat aku menjadi "mati"

Saat ini tampaknya bulir-bulir asa ku akan lebih kutujukan buat sesuatu diluar diriku
Bukan karena aku tidak punya keinginan diri
Tapi kalo hanya sekedar uang atau gelar, alhamdulillah aku sudah mendapatkannya
Saat ini aku merasa sudah bukan waktu ku lagi

Gampang kah hidup ini kalau hanya sekedar menjalani ?
Siapa yang bilang ?.
Setiap fase dan pilihan kehidupan ada tantangannya
Bukan sekedar menanjak, tapi menurun pun adalah tantangan
Bukan sekedar merah tapi warna hitam pun adalah tantangan

Terkadang sering diri ini menggugat
Apakah jalan yang aku lalui ini sudah benar ?
Benar. Tidak ada yang tahu
Dan sebagai manusia kita memang tidak berhak tahu

Tapi sepotong daging bernama "hati"
akan memberitahu ketika kita berada di simpang jalan
antara "keinginan" dan "kenyataan"

Tidak ada yang lebih memuaskan diri ketika
bertemu dengan teman lama yang tampaknya sangat puas dengan hidupnya.
Padahal hidupnya begitu sederhana
Tapi seperti katanya, "Walau begitu, hidupku tidak mudah, Va"

Yah kehidupan
Sebuah panggung sandiwara sempit bagi manusia
Apalagi kalau panggung itu hanya ditujukan buat diri kita seorang