Ilusi Uang
Sunday, May 27, 2007
Uang memang tidak berbatas. Benar juga ungkapan yang bilang bahwa "99 jawaban dari 100 pertanyaan adalah uang".

Kebanyakan pangkal sebuah masalah adalah uang, begitu juga selalu akhir sebuah masalah juga karena uang. Rasa-rasanya tidak ada kata cukup untuk uang. Selalu kurang, bagai meminum air garam. Semakin diminum maka semakin haus kita, Semakin banyak uang maka semakin merasa kekurangan kita. Ada saja keinginan yang sepertinya belum terwujud. Dan untuk mewujudkannya kita perlu uang. Apakah karena tidak ada yang gratis di dunia ini ?. Benarkah semua harus ada harganya ?. Dan benarkah kita harus selalu membayarnya dengan uang ?.

Awalnya adalah ketika aku dan suamiku mencoba untuk menyusun anggaran per-tahun rumah tangga kami. Tradisi ini sudah kami mulai sejak awal pernikahan. Kami selalu menyusun rencana keuangan kami di awal tahun, mengira-ngira berapa besar pengeluaran dan mengira-ngira sumber pemasukan tambahan. Selalu ada yang kami ingin beli setiap tahun. Dan herannya kami juga harus memutar otak berpikir dimana kami harus mencari sumber dana tambahan untuk mewujudkan keinginan kami. Selalu begitu setiap tahun. Seperti tahun ini, kami merencanakan untuk menambah modal bisnis kami. Hitung punya hitung, ternyata besar juga dana yang diperlukan. Padahal ini hanya hitungan kasar saja, belum anggaran terperinci dari sebuah proses penambahan modal sebenarnya.

Sepertinya tidak terlalu banyak keinginan kami. Tapi kenapa selalu saja kurang uang kami ?. Apakah itu berarti keinginan kami semakin tahun semakin besar. Tidak juga. Tahun kedua sampai keempat pernikahan, kami menginginkan memiliki sebuah rumah. Tiga tahun kami menabung sampai akhirnya terkumpul uang muka pembelian rumah. Tahun keempat kami menabung untuk uang masuk Playgroup dan Taman Kanak-kanak Brina. Tahun kelima kami menginginkan mobil untuk alat transportasi kami, dan tahun keenam kami harus menabung untuk uang masuk Sekolah Dasar Brina. Tidak ada yang aneh dengan keinginan kami, cuma keinginan dasar sebuah rumah tangga.

“Kalau bisa kita jangan sampai mengambil uang tabungan ya, Jeng.” tegas suamiku. Terus darimana kami harus mengambil dana untuk menambah modal bisnis ku ?. Meminjam dari Bank ?. Ah tak mungkin, suku bunga bank sedang tinggi-tingginya sekarang. Herannya berapapun pemasukan yang kami dapat selalu kurang untuk pengeluaran plus keinginan kami. Padahal gaji yang diterima suamiku sekarang sudah berlipat kali lebih besar daripada gajinya di awal pernikahan kami dulu.

Sebenarnya masalah uang adalah masalah persepsi. Ada orang yang menyandarkan standard kecukupan dirinya dengan terpenuhinya semua keinginan. Tapi ada juga orang yang hanya menyandarkan standar kebahagiaan dirinya bila dia masih bisa makan hari ini dan cukup untuk bertahan hidup sampai esok hari. Ada juga yang bilang bahwa uang tidak bisa bohong. Dengan kata lain orang ini berpendapat bahwa bohong bila bisa bahagia kalau tidak ada uang. Mungkin ada benarnya dan ada salahnya.

Terus bagaimana dengan keluargaku, dengan aku dan suamiku? Apakah kami juga bersandar pada teori : bahagia berarti ada uang ?. Mungkin disini kami hanya berpikir logis saja. Keinginan kami hanya ingin mencukupi anak kami satu-satunya dengan segala daya upaya yang kami mampu. Kami ingin menyekolahkannya di sekolah terbaik, memberinya les dan kursus terbaik untuk menunjang bakatnya, ingin memberikannya pakaian terbaik, ingin memberikannya makanan terbaik dan ingin memberikannya tempat berlindung terbaik, ingin punya bisnis yang sehat dan bisa menghasilkan laba.... Dan tentu saja, semua itu perlu uang. Iya kan?. Tak dipungkiri lagi.

Tidak terbayang bila harus memberikan yang ‘biasa-biasa’ saja pada Shabrina. Kelak dia akan hidup di zaman yang serba maju, mungkin tak terbayangkan oleh generasi kita saat ini. Bagaimana dia bisa bertahan hidup bila dia ‘biasa-biasa’ saja ?. Apalah lagi untuk menyumbangkan sesuatu pada zamannya, pasti diperlukan kemampuan dan ketangguhan yang lebih dari kita sekarang. Tak apa bila kami yang orang tuanya harus mengalah demi dia. Shabrina adalah prioritas rumah tangga kami. Aku dan suamiku juga berangan-angan bisa mempunyai waktu lebih banyak dengan Shabrina. Suamiku juga tidak ingin bekerja seumur hidup, karena bekerja berarti tidak mempunyai banyak waktu untuk diri sendiri dan keluarga. Dari awal pernikahan, perlahan-lahan kami berdua mulai merintis bisnis kecil-kecilan dengan harapan akan menjadi berkembang nantinya. Dan rencana-rencana kami ini memerlukan uang.U-A-N-G.

Apakah benar untuk menjadi yang terbaik harus memerlukan uang ?. Nyatanya orang-orang dahulu yang bisa mencatatkan mencatatkan namanya dalam sejarah bukanlah orang-orang yang berkecukupan. Tekad dan semangat untuk maju yang membuat mereka bisa lebih unggul dibanding orang lain. Tapi kan zaman sekarang berbeda ?. Sekarang semuanya diukur dengan uang. Orang yang berhasil adalah orang yang berkelimpahan materi. Yang hidupnya tidak kekurangan. Atau mungkin ini yang berubah?. Mungkin bukan keinginan untuk memberikan yang terbaik pada anak-anak kita yang mengalami perubahan, karena toh orang-orang tua kita dulu juga menginginkannya. Juga mungkin bukan bagaimana bahagia itu diartikan yang berubah sekarang. Sama saja ‘bahagia” sekarang dan “bahagia” zaman dulu, masih berarti : selalu bersama dengan orang-orang yang kita cintai, di dekat mereka dan memberikan seluruh perhatian kita kepada mereka.

Yang berubah adalah cara pandang kita sendiri. Manusianya yang berubah.

Seharusnya sebagai manusia kita bisa menentukan mana yang tepat untuk kita. Tapi saat ini, di saat semua informasi begitu terbuka, dengan mudahnya kita bisa mengetahui bahwa cara pandang kita bukanlah mencerminkan diri kita sendiri. Cara pandang kita banyak dipengaruhi oleh orang lain, oleh persepsi diluar diri kita. Jadi ketika orang mempersepsikan A sebagai B maka dengan mudahnya kita menerima. Jadi ketika orang mengatakan bahwa untuk menjadi yang anak terbaik berarti harus dengan sekolah terbaik, kursus terbaik, makanan terbaik dan rumah terbaik- dimana semua ini berarti uang- maka kita pun seratus persen menerimanya. Kita menafikkan faktor peran serta orang tua si anak dalam mendidik, faktor lingkungan si anak dan yang terutama kita menafikkan faktor Tuhan. Begitu pula ketika orang mempersepsikan bahagia itu berarti bisa kumpul dengan keluarga tanpa bekerja sedangkan uang mengalir deras masuk ke kantong kita, maka kita pun mengiyakannya.

Padahal tanpa “uang yang mengalir deras ke kantong kita” pun kita akan bahagia kalau kita bisa selalu berkumpul dengan keluarga. Selalu ada embel-embel kata ‘uang’ yang menyertai kata ‘terbaik’ dan ‘bahagia’.

Bagaimana dengan berpikir logis ?. Kita sudah menjadi manusia-manusia yang diperbudak oleh akal. Tidak bisa diterima satu pendapat kalau tidak ada penjelasan logis diatasnya. Dan memang penjelasan logis untuk ‘terbaik’ dan ‘bahagia’ adalah UANG. Susah sekali kita berpikir diluar kerangka logis bila sudah dibenturkan kepada kepentingan orang-orang tercinta kita. Kita menyangka bahwa otak kita akan menemukan formula tepat untuk menyelesaikan masalah-masalah kita. Kita lupa bahwa kita sebenarnya punya hati. Dan uang bukanlah soal hati. Dan persoalan orang-orang tercinta kita berarti adalah persoalan hati kita. Tidak masalah kita punya uang atau tidak.
Cemburunya Aku ....
Tuesday, May 22, 2007
Cemburunya aku pada suamiku adalah cemburunya seorang perempuan yang seumur hidupnya tidak pernah merasa cemburu.

Aku dilahirkan sebagai anak pertama dari tiga bersaudara, apapun yang kuminta dan kuinginkan pasti akan terkabul. Itu memang sudah sifatku, tidak ada suatu apapun di dunia ini yang bisa menghalangi aku untuk mendapatkan sesuatu. Aku tidak pernah merasa bersaing dengan orang lain, karena aku tahu bagaimana mendapatkan keinginanku dengan caraku sendiri. Sejak SD sampai kuliah, aku bukanlah pelajar yang teramat cemerlang, prestasi akademikku biasa-biasa saja. Tapi siapa yang tidak kenal Eva illustrator majalah Rohis yang terkenal dengan gambar-gambar nya yang mengharubiru ?

Siapa juga yang tidak kenal dengan Eva si mantan ketua I MPK yang merupakan ketua MPK perempuan pertama di SMA favorit unggulan nasional ini ? Siapa yang tidak kenal dengan Eva si bos Kopma kampus yang membuat Kopma kampus-ku menjadi Kopma terbaik di seluruh Indonesia ? Yah, aku tahu benar bagaimana cara mendapatkan keinginanku, bagaimana cara mendapatkan perhatian orang lain tanpa harus bersusah payah bersaing. Aku juga tahu benar bagaimana cara merebut hati orang lain dengan cara yang tidak biasa.

Contohnya ketika SMP ketika aku sedang getol-getolnya merintis buletin sekolah, aku tahu benar bahwa aku tidak akan bisa bersaing dengan teman-temanku yang jago menulis. Entah bagaimana caranya, mereka bisa menuliskan sesuatu yang tidak pernah kupikirkan sebelumnya. Langsung aku banting setir menjadi penata lay out dan ilustrator cerpen atau kisah yang ditulis oleh si jago menulis tadi. Dan percaya tidak, gambar-gambar ku yang menghiasi cerpen-cerpen itu malah lebih terkenal dan lebih menarik perhatian dibanding cerpen fiksi temanku. Malah akhirnya aku memiliki halaman sendiri untuk komik petualanganku. Hah, siapa kali ini yang menang ?, begitu pikirku saat itu.

Tapi berbeda sekali dengan cemburu ku kali ini. Entah kenapa aku tidak pernah bisa bersaing merebut perhatian suamiku dengan seorang perempuan mungil umur 4 tahun berambut keriting bermata cemerlang. Seorang anak perempuan yang aku juga begitu mencintainya, anak perempuan tunggal kami yang selalu membuatku merasa disisihkan oleh suamiku. Lucu ?, pasti tidak begitu menurut kalian. Yah, karena kalian terbiasa untuk mengalah. Tapi tidak lucu bagiku yang memang selalu bisa mendapatkan keinginannya.

Sepanjang akhir pekan, selalu dihabiskan oleh suamiku untuk berduaan dengan anak perempuan mungil tadi. Sejak sehabis shubuh setiap akhir pekan, suamiku sudah mulai beranjak dari kamarku dan mulai memasuki kamar anak kesayangannya untuk tidur berpelukan sampai matahari mulai menampakkan cahayanya. Setelah itu mereka akan lari pagi bersama, sarapan roti bersama dan nonton TV bersama. Hanya berdua, tanpa aku !. Pernah sih aku mencoba untuk ikut bersama mereka, tapi rasa-rasanya tawa mereka, senyum mereka, canda mereka akan terus seperti itu tanpa ada aku. Rasa-rasanya ada tidak adanya aku tidak akan mempengaruhi mereka. Pernah seharian aku ditinggal sendirian di rumah dan mereka berdua pergi entah kemana. Untuk menekan perasaan ku, aku sibukkan hari itu dengan memasak kue, melamun sambil mencoret-coret sketch book ku dan menjawab email teman-temanku. Dan menjelang Isya baru mereka pulang sambil menenteng ikan hasil pancingan dari Bogor. Wuaah, sebel rasanya apalagi mereka berdua ribut menceritakan pengalaman mancing seharian tadi sambil menyantap brownies bikinanku tanpa sekalipun memuji brownies itu.

Aku jadi teringat ketika kurang lebih lima tahun lalu, aku hamil. Kehamilanku hanya berselang 1 bulan dari pernikahan kami. Masih kuingat benar bagaimana begitu bersinar-sinarnya wajah suami kekasihku setiap dia mengantarkan aku kontrol ke dokter. Sepertinya dia sangat antusias, kuingat dia selalu ribut meminta setiap print out hasil USG dari dokter kandungan kami. Dia simpan semua print out itu dalam sebuah map merah jambu, begitu juga foto pertama bayi kami, gelang tangan bayi kami ketika di rumah sakit, cukuran rambut pertamanya waktu aqiqah, puput pusarnya yang sekarang sudah berwarna kehitaman juga ikut-ikutan dikoleksi suamiku. Begitu sayangnya dia pada bayi perempuan kami, sehingga setiap malam tanpa harus dibangunkan dia yang akan menggantikan popoknya, memandangi bayinya dengan takjub ketika sedang kususui dan menidurkannya kembali. Setiap malam, tanpa absen !. Padahal buat seorang engineer yang bekerja berdasarkan projek, dia selalu pulang menjelang tengah malam untuk mengejar tenggat waktu.

Pernah suatu waktu di keheningan malam setelah kami berdua menikmati ibadah suci suami istri, aku tanyakan apakah dia masih mencintaiku sama seperti awal pertemuan kami dulu. Sambil tersenyum dan lekat memandang mataku, dia menjawab bahwa cintanya padaku tidak akan pernah berubah. Aku adalah ibu anak tercintanya, istri satu-satunya dan sahabatnya selalu dimasa senang dan susah. Aku cukup puas dengan jawaban itu, tapi aku kan juga butuh diperhatikan lebih, aku kan juga butuh dipuji seperti dulu, butuh disanjung, butuh di rayu...Cengeng gak sih ?...

Cemburuku pada suamiku adalah cemburu seorang perempuan yang tidak pernah tidak mendapatkan keinginannya. Tapi bagaimana aku akan bersaing cinta dengan anak ku ?. Aku putuskan untuk tidak bekerja di luar rumah karena dia. Aku ingin setiap dia pergi dan pulang sekolah, orang pertama yang akan mendengar celotehnya adalah aku, ibunya. Aku ingin aku adalah orang pertama yang akan menjadi sandarannya bila sedang bersedih. Aku ingin orang yang pertama yang akan menjawab pertanyaannya adalah aku, ibunya. Jangan pernah dia harus mencari jawaban terlebih dulu di luar rumah tanpa mendapatkannya terlebih dahulu dari kami orang tuanya.

Aku tahu benar rasanya bagaimana mempunyai sesuatu yang sepertinya dekat tapi selalu menjauh begitu aku memerlukannya. Aku ingat bagaimana setiap malam sewaktu kelas 3 SMA dulu, aku harus menahan perasaan setiap berada di meja belajar untuk persiapan UMPTN. Pilihanku pada fakultas itu bukanlah pilihan hatiku. Tapi karena mama selalu bercerita bahwa keinginanya untuk menjadi dokter gigi akan diwariskannya padaku. Aku sendiri jauh di dalam hati ku, kusimpan rapat-rapat tanpa siapapun tahu, ingin sekali masuk ke fakultas seni rupa. Ingin rasanya menceritakan keinginanku ini pada orang tuaku.

Tapi aku tahu pasti bahwa keinginanku ini akan membuat mereka terluka. Seakan mempunyai sesuatu yang tidak terjangkau rasanya. Mnecintai tapi tidak ingin melukai, mungkinkah itu harus ditanggung oleh seorang anak yang sedang kebingungan ?

Aku begitu mencintai anak ku, sehingga aku berjanji tidak akan mengekang keinginannya, selalu mendukung langkahnya dan tidak akan pernah memaksakan kehendakku. Begitu juga kali ini, aku yang selalu terbiasa berdua dengannya sepanjang hari, sejak dia turun dari mobil jemputan TKnya, sampai menjelang tidur, begitu tidak rela melihat kemesraan nya bersama ayahnya, yang hanya berdua tanpa aku, ibunya.

Hal yang konyol sebenarnya mencemburui kemesraan suamiku dengan anaknya. Toh, selama ini aku sudah memiliki laki-laki itu dengan cara yang sama sekali berbeda. Dia adalah cinta pertamaku, orang yang pertama kali memegang tubuhku dan orang yang pertama kali mengucapkan cinta padaku. Apalagi yang harus kutuntut darinya. Aku pun adalah cinta pertama baginya. Buatnya aku adalah perempuan pertama yang dia cintai setelah ibunya. Selama hampir tujuh tahun pernikahan kami, tidak pernah sekalipun dia membuatku marah besar, pertengkaran kami bisa dihitung dengan jari. Dia tahu persis sifatku yang keras kepala, sehingga hampir setiap kali suami terkasihku selalu mengalah demi cintanya. Terus mau apa lagi ?

Untuk seorang istri, aku adalah seorang perempuan yang tidak pernah mau ambil pusing dengan pendapat orang lain tentang diriku. Kalau buat sebagian perempuan lain, konflik dengan mertua atau keluarga suami di awal usia pernikahan adalah hal yang pasti terjadi. Tidak demikian dengan aku. Ibu mertuaku adalah sahabat terbaikku, begitu juga dengan ipar-ipar perempuanku. Tak jarang aku menemani adik iparku bertemu dengan tunangannya. Aku juga sering dimintai uang oleh adik iparku, malah dia lebih senang meminta padaku daripada minta langsung kepada suamiku yang adalah kakak kandungnya. Di awal-awal pernikahan, aku amat menyadari keberadaanku sebagai menantu perempuan dari anak laki satu-satunya di keluarga suamiku. Bisik-bisik pendapat tentangku sering kudengar ketika aku sedang menginap di rumah mertua. Toh, semuanya tidak ada satupun yang berbekas didalam hatiku. Aku tahu bahwa ipar- iparku sempat cemburu padaku. Sempat aku merasa sebagai orang asing dalam keluarga mereka tapi seperti biasanya aku dengan gampang bisa mendapatkan keinginanku.

Awalnya dari keinginan keluarga suamiku untuk menikahkan anak perempuannya yang bungsu. Adik iparku ini hanya berselang umur 2 tahun dari kakak tertuanya yaitu suamiku. Tapi sampai hampir menjelang usia 30 tahun, dia belum mempunyai calon pasangan. Atau lebih tepatnya, karena pemalu, adik iparku ini tidak pernah mempunyai teman laki-laki. Untuk orang Sumatera seperti kami, belum nikah diatas umur 30 tahun merupakan aib tersendiri. Sibuklah keluarga suamiku mencarikan calon suami buat anak mereka, mengenalkannya dengan kerabat dan teman. Saat itu aku hanya tersenyum simpul, aku tahu persis bahwa aku punya saudara sepupu laki-laki jauh di Bangka sana yang persis sama masalahnya dengan adik iparku. Dia adalah dokter baru lulus yang sangat pemalu dan sebulan yang lalu aku sok akrab ber-sms ria dengannya untuk menanyakan kabarnya. Tentu saja, ada udang di balik batu dibalik sms-sms ku pada sepupuku itu. Aku tahu bahwa aku harus menjalin hubungan yang akrab dulu dengan nya sebelum menawarkannya pada adik iparku. Akhirnya perkenalan itu terjadilah, karena mereka sama-sama sudah siap nikah, sekarang mereka berdua sedang menjalin hubungan yang serius...hehehe berhasil juga misiku mengambil hati keluarga suamiku...

Sedangkan dengan ibu mertua, wah beliau orang yang paling gampang aku ”taklukan”. Sebelum pernikahan pun aku sudah merebut hatinya. Buatnya aku adalah menantu kesayangan. Bahkan dia sering membanding-bandingkan aku dengan anak-anak perempuannya yang lain. Ehem, sepertinya hal inilah yang membuat aku sempat dicemburui berat oleh ipar-iparku... Kedua iparku adalah perempuan pekerja di luar rumah, mereka bahkan tidak sempat untuk mengobrol walau sebentar dengan ibunya. Di sinilah aku dengan segala waktu luangku bisa sering menelepon beliau hanya sekedar untuk menanyakan resep rendang yang enak atau membuat asam padeh yang tidak amis. Wah, bisa kurasakan suaranya begitu bahagia, mungkin merasa dibutuhkan oleh seorang anaknya. Aku juga tidak segan membawa anakku pada sore hari tiba-tiba muncul di rumah neneknya membawa sebuah pepaya atau hanya membawa semangkok puding buah yang tidak seberapa nilainya. Setiap kali aku mendapat rezeki dari bisnis ku, aku juga tidak lupa dengan ibu mertuaku itu. Sering sehelai jilbab atau sebuah tas tangan kubelikan untuk beliau. Mungkin perhatian-perhatian yang tidak seberapa ini membuat beliau cepat jatuh hati padaku.

Benar, paling tidak enak bersaing dengan orang lain. Mungkin karena aku orang yang sangat tidak senang dengan konflik, jalan untuk bersaing dengan orang lain selalu kuhindari. Aku selalu mencari jalan lain untuk membuat orang menerima kehadiranku. Aku selalu mencari jalan lain untuk membuat orang memperhatikan aku. Cemburu ? kata itu tidak pernah aku kenal dalam kamus hidupku. Sebisa mungkin sebelum aku bersaing ketat dengan orang lain aku selalu sudah berbelok mencari jalan lain. Begitu juga dalam kehidupanku sebagai seorang perempuan, anak, istri dan menantu. Aku percaya bahwa sebagai seorang manusia sekaligus sebagai seorang perempuan aku memiliki kelebihan lain tanpa aku harus bersinggungan dengan orang lain.

Tapi sungguh, untuk kasus cemburu kali ini, aku benar-benar tidak habis pikir. Kenapa aku benar-benar tidak berdaya dibuatnya. Kedua orang yang sama-sama aku cemburui ini adalah orang-orang tercintaku. Mereka punya tempat masing-masing di hatiku. Tapi kenapa ketika mereka sedang berdua, seakan aku tidak berada disana. Jadi sebenarnya aku cemburu pada suamiku atau cemburu pada anakku ?....Entahlah, yang kutahu rasanya aku sangat sayang pada mereka berdua. Mereka adalah alasan terkuatku untuk bertahan hidup sampai saat ini. ..Ataukah ini kah namanya cemburu karena cinta ?

Ya Alloh, lindungilah selalu orang-orang terkasihku, berilah mereka selalu cinta-Mu, berilah mereka selalu ketulusan untuk saling mencintai apa adanya dan persatukan kami kelak di surga-Mu. Amin...
“Selamat datang Ibu-ibu undangan selamatan pernikahan putra tunggal ibu Haji Mariska sekalian…” suara dari pengeras suara itu mengagetkanku sore ini.

Suara apa tuh? Dengan antusias aku longokan kepalaku keluar jendela, Loh ada apa rame-rame di sana?. Supaya lebih jelas lagi aku melangkah menuju teras. Kulihat samar-samar di balik rimbunnya daun pohon sekumpulan ibu-ibu yang menggunakan kerudung berbaju rapi duduk melingkar. Dengan seksama kudengarkan kalimat demi kalimat yang keluar dari pengeras suara di seberang. Ternyata Bowo, anak ibu Haji akan menikah pekan depan rupanya. Terus ini acara apa ya?. Kutajamkan lagi mataku untuk melihat lebih jelas. Ada ibu Mar tetangga sebelah rumahku, ada Tante Mirna tetangga sebelah juga, ada ibu ketua cluster, bahkan ada mbak Vivi yang berlainan blok denganku.

Kok aku gak diundang ya? Begitu gumamku sambil melangkah kembali ke dalam rumah. Padahal aku kan cukup dekat dengan bu Haji. Tiap berpapasan, pasti aku menegurnya walau tidak berbincang akrab. Begitu juga dengan Bowo, aku-lah yang memberi informasi tentang lowongan pekerjaan di kantor temanku sehingga dia tidak menganggur lagi.

Baru satu setengah tahun lalu kami pindah ke komplek perumahan di daerah Cibubur ini. Komplek perumahan yang bagus, lingkungannya sudah tertata rapi. Pohon-pohon peneduh jalan juga sudah tumbuh tinggi di sana-sini. Aku-lah yang memutuskan untuk membeli rumah disini karena banyak pilihan sekolah untuk Shabrina di sekitar Cibubur. Tinggal memilih mau ke sekolah yang biayanya murah, menengah atau mahal, semua ada. Hanya uang yang menjadi penentu. Tinggal di sini cukup nyaman. Sistem cluster membuat tidak banyak mobil lalu lalang di jalan depan rumah kami. Sehingga Brina bisa leluasa bermain sepeda atau berlarian sepanjang sore. Dengan tetangga pun kami cukup akrab. Dengan konsep rumah taman yang tak ada pagar antar rumah membuat kami seakan menjadi dekat.

Yah, keputusan membeli rumah ini juga didasari oleh keinginan untuk hidup mandiri di atas kaki sendiri. Sampai lima tahun awal pernikahan, kami masih mengontrak. Kami memang belum sanggup untuk beli rumah sendiri. Dan ketika ada tawaran pinjaman (tanpa bunga) pembelian rumah dari perusahaan suamiku bekerja datang pada kami, tanpa pikir dua kali kami mengambil tawaran itu.

Cukup banyak penyesuaian dan adaptasi yang kulakukan sejak pindah kesini. Aku harus belajar mengatur rumahku sendiri beda dengan di rumah kontrakan dulu yang cenderung semau gue, mulai sedikit-sedikit belajar menata rumah dan belajar memasak. Dan terutama adalah aku harus belajar untuk bersosialisasi dengan tetangga. Untuk aku yang mantan aktivis mahasiswa, dari hari ke hari kegiatanku hanya kampus dan rumah. Sangat jarang aku beramah tamah dengan tetangga. Saling mengunjungi, berbagi makanan, adalah sesuatu yang baru buatku. Sama sekali aku tak mengira bahwa masih ada kepedulian seperti itu di Jakarta.

Tapi aneh memang, di kompleks perumahan ini hal itu masih dijumpai. Ingat sekali, minggu pertama pindah kesini. Kami langsung melapor ke ketua cluster dan tak terlintas pikiran untuk mengenalkan diri pada tetangga sekitar rumah. Tak disangka malamnya serombongan ibu dan bapak mengetuk pintu rumah kami, dengan senyum lebar mereka memperkenalkan diri mereka satu persatu lengkap dengan nama anak-anaknya. Wah, sungguh kejutan buat kami. Apalagi rata-rata ibu dan bapak tadi sudah lebih tua dari kami. Apakah kami yang lebih muda ini kurang bisa berbasa-basi? Ataukah ini yang namanya tidak tahu tata krama? Tak tahulah.

Sejak saat itu aku mulai belajar menjadi tetangga yang baik. Mulai ikutan arisan cluster dan senam taichi bersama tiap hari minggu di lapangan komplek. Suamiku-Rais- juga mulai ikutan klub mancing bapak-bapak. Tapi kami akui sering kami lakukan hal ini dengan terpaksa. Cuma memenuhi kewajiban. Tidak enak kalau tidak datang. Terus terang kami lebih nyaman bersantai di rumah bila ada waktu luang. Mengobrol bertiga di dalam kamar, Bercanda segala hal, dan baru mandi menjelang sore adalah acara favorit keluarga kami di akhir pekan. Kebetulan aku dan Rais memang tipe anak rumahan sejak kecil – setidaknya begitu kata Mama-mama kami. Ari-arinya dikubur di rumah sih, coba dilarung di laut begitu kata mereka.

Kembali aku berjalan menuju teras. Sambil pura-pura menyiram tanaman kuamati lagi kegiatan di rumah tetanggaku itu. Oh, sedang shalawatan rupanya. Pelan kusenandungkan shalawat berbarengan dengan suara dari seberang. Kembali aku menerawang jauh teringat pada masa-masa gadisku sebelum menikah. Dulu di tahun 1998 ketika perekonomian kita runtuh karena krisis ekonomi, aku pernah aktif di sebuah LSM yang bergerak di Cilincing. Di LSM yang kudirikan bersama teman-teman seangkatanku, aku berada di divisi pendidikan. Program kami adalah menjalankan les matematika dan bahasa Inggris gratis buat anak-anak nelayan di Cilincing. Seminggu dua kali dari kampus Salemba kami beramai-ramai naik bis menuju terminal Tanjung Priok dan disambung lagi dengan naik angkot merah jurusan Cilincing. Perkampungan nelayan disana mayoritas dihuni oleh orang Madura. Untuk mendapatkan kepercayaan mereka, kami sempat dua bulan bolak-balik kesana tanpa melakukan apa-apa. Yang kami lakukan hanya duduk-duduk sambil mengobrol dengan sesepuh mereka di rumahnya. Saat itu benar-benar kurasakan kami berenam hampir saja menjadi orang Madura dengan segala tindak tanduk mereka. Canda khas mereka, logat bicara mereka bahkan sampai makanan kesukaan mereka sempat menjadi bagian hidup kami. Kami seakan menyatu dengan mereka. Pernah menjelang hari Raya kurban, LSM kami dimintai bantuan oleh masyarakat disana untuk mempersiapkan pemotongan hewan kurban. Karena acaranya besok pagi-pagi sekali, kami terpaksa menginap di sana. Di rumah salah seorang tokoh masyarakat, kami tidur hanya diatas tikar tanpa bantal. Malam itu sepicing matapun kami tidak tidur karena sibuk mengusir nyamuk laut yang terkenal galak.

Berbeda dengan sekarang, terutama aku, aku tidak merasa menyatu dengan orang-orang di kompleks ini. Lucu saja rasanya harus setor muka tiap sore mengobrol berbasa-basi dengan para ibu di depan jalan. Bukan apa-apa. Aku pikir obrolan sore itu hanya buang waktu saja, kalau tidak gossip ya ngomongin orang. Jadi-lah aku sering berada di dalam rumah sepanjang sore. Kalau tidak di depan PC, aku akan membaca satu buku yang tertunda. Tapi berbeda dengan Brina, dia punya banyak teman kecil di sekitar rumah sekarang. Dari balik jendela biasanya kuperhatikan dia yang sedang bermain dengan anak tetangga. Wah, aku kalah ngetop dengan Brina di sini. Ibu-ibu di cluster ini lebih mengenalku sebagai Bunda-nya Brina dibanding sebagai Bu Eva. Pernah ketika sedang lari pagi ke danau bersama aku dan ayahnya, tiba-tiba Brina menyalami tangan seorang nenek yang berpapasan dengan kami. Padahal aku tahu persis, dia bukan penghuni blok kami. Tentu saja kami bengong melihat tingkahnya, tapi sang nenek tidak marah malah tersenyum senang. Selidik punya selidik dengan bertanya-tanya pada pembantuku, ternyata itu adalah eyang-nya Zahra – rumahnya beda tiga rumah dari kami- yang sebulan sekali datang dari Semarang dan menginap di rumahnya. Ternyata `ketenaran` anakku sudah melintasi propinsi.

Mungkin aku memang tidak harus bertanya-tanya ataupun tersinggung karena tidak diundangnya aku ke selametan di seberang. Malah aku seharusnya lebih bisa mengintropeksi diri. Karena seperti kata Emak -nenekku, orang lain itu adalah cermin buat kita. Begitulah kita, maka begitulah orang lain kepada kita. Mungkin aku memang harus belajar ikhlas dan tulus dalam segala hal seperti tulusnya seorang anak, seperti Shabrina. Apalagi pada tetangga, saudara kita yang paling dekat.

Labels:

Anak-anak
Tuesday, May 08, 2007
Bahkan dalam dunia nyata, hubungan seperti itu agak susah terjadi.

Empat orang wanita, dua berkulit sawo matang, dua yang lain bermata sipit dan berkulit putih bersih. Mereka duduk bersila saling berhadapan. Lutut bertemu lutut dengan tangan-tangan yang terkadang saling menepuk. Senyum dan tawa tak lepas dari keempatnya. Entah apa yang mereka bicarakan tapi raut muka mereka terlihat senang.

Di pojok lain duduk tiga orang wanita dengan komposisi yang agak ‘aneh’. Seorang wanita berumur, tangannya memegang erat rosarionya. Wanita kedua, berkerudung dan berbusana rapat. Seorang lagi wanita muda berkuncir panjang dengan busana sederhana. Sama seperti yang lain, walau mereka duduk bersisian tapi mata mereka saling menatap dan wajah mereka terlihat senang. Tak lama terdengar bel panjang berbunyi.

Anak-anak. Anak-anak lah yang bisa menyatukan semua perbedaan itu. Mereka adalah para orang tua. Demi anak-anak mereka, mereka mau menyingkirkan semua kesungkanan dan keengganan. Mereka bersatu bahu membahu saling tolong satu sama lain menciptakan lingkungan belajar yang baik untuk anaknya.

Demi anak-anak juga, para ibu mau kembali belajar. Tak peduli sudah berapa S yang mereka dapatkan dibelakang nama mereka, para ibu tadi mau dengan tekun mengikuti pelatihan, membayar mahal untuk belajar menjadi orang tua. Demi anak-anak juga, mereka mau melompat seperti kelinci bahkan menari tarian perang Indian. Mereka bersatu bahu membahu saling tolong satu sama lain membuat diri mereka menjadi orang tua yang lebih baik untuk anak-anaknya.

Anak. Tidak ada satupun yang lebih berharga bagi orang tua kecuali anak-anak mereka. Pada seorang anak nilai cinta dan pengorbanan lebur didalamnya. Pada seorang anak nilai ketulusan dan kesungguhan bersatu didalamnya.

Bagi sebagian orang, anak adalah karunia terbesar yang diberikan oleh Allah SWT kepada mereka. Sedangkan bagi sebagian orang lagi, anak adalah bencana terbesar buat mereka. Sehingga tidaklah heran ketika ada sepasang suami istri kenalan saya yang selalu dengan bangga memperkenalkan ketiga orang anak mereka sebagai kado terbesar dari Tuhan padahal ketiganya mengalami keterbelakangan mental. Sedangkan ada lagi di pojok Bekasi sana seorang anak membunuh ayah kandungnya gara-gara tidak dibelikan sepeda motor. Buat seorang Nuh AS, anaknya adalah penentangnya yang paling terdepan. Dan buat Muhammad SAW, anaknya adalah penghibur hati ketika orang lain membelakanginya.

Kita pun dulu juga seorang anak, punya orang tua. Sekarang kita adalah orang tua dan punya anak. Tapi seringkali kita lupa bagaimana menjadi anak. Memang ingatan kita sangat pendek. Kita bahkan tidak ingat lagi perasaan sedih kita dulu ketika sedang dimarahi. Mungkin memang karena kesalahan kita, tapi bukankah kita tidak sengaja melakukannya. Bukan maksud hati untuk menumpahkan Coca-cola ke karpet baru ibu kita, tapi karena tangan ini tidak sengaja menyenggol gelas. Bukan maksud hati untuk mendapatkan nilai jelek, tapi karena otak ini tidak senang pelajaran matematika. Kita lupa bahwa bukan kepala ini saja yang tertekuk ketika sedang dimarahi, tapi hati ini ikut tertekuk karenanya. Kita sudah lupa menjadi seorang anak.

Menjadi orang tua adalah suatu keterampilan yang harus dipelajari. Menjadi orang tua memerlukan energi yang besar. Dulu sebelum menikah, saya berpikir bahwa menyusui bayi itu gampang, naturally saja dan seringkali heran melihat teman-teman yang mengambil kursus menyusui dikala hamil. Tapi setengah jam setelah melahirkan, baru saya sadari bahwa menyusui bayi adalah sebuah hubungan, lebih kompleks dari sekedar memberikan susu. Dan tekhniknya pun ternyata harus dipelajari agar saya dan bayi saya sama-sama merasa nyaman. Bukan sekedar memasukkan mulut bayi ke puting kita. Ternyata ini sebuah keterampilan yang harus dipelajari.

Sebelum anak saya lahir, saya juga selalu berpikir bahwa Allah SWT sudah menganugerahi saya insting untuk menjadi orang tua buat anak saya. Buktinya Allah SWT sudah mempercayai saya untuk hamil. Pastilah saya bisa menjadi orang tua, pikir saya. Tapi baru setahun umur anak saya, saya baru menyadari bahwa anak saya adalah seseorang yang berbeda dari saya. Dia bukan saya. Dia punya keinginan sendiri, punya pilihannya sendiri. Bagaimana saya bisa memahaminya? Dia sama sekali berbeda dengan saya. Darimana saya tahu apa keinginannya, apa saja pilihannya? Ternyata saya harus belajar. Ternyata menjadi orang tua adalah sebuah keterampilan yang harus dipelajari.
Mungkin kita juga adalah orang yang berbeda dengan suami kita. Tapi kita sama-sama orang dewasa. Kita bisa saling bicara, mengkomunikasikan maksud dan tujuan kita. Mungkin walau kita berbeda tapi kita bisa duduk satu meja. Tapi bagaimana kita berunding dengan seorang anak bermata bulat yang baru berumur setahun?

Ternyata Allah SWT ‘hanya’ menganugerahi kita insting mencintai, menyayangi dan melindungi anak kita. Tapi ternyata menjadi orang tua tidaklah cukup hanya dengan bekal cinta, kasih sayang dan perlindungan. Allah SWT mengharuskan kita untuk cari tahu bagaimana kita bisa menjadikan kertas putih jiwa anak kita terisi dengan tinta warna-warni kebahagiaan. Mengharuskan kita mencari tahu bagaimana caranya kelak anak-anak kita menjadi seorang yang baik dan menyenangkan.

Mungkin kalau manusia adalah makhluk dengan ingatan jangka panjang, maka kita bisa bercermin dari pengalaman kita menjadi anak dulu. Dan tidak mengulangi perbuatan salah orang tua kita. Tapi masalahnya, manusia tidak seperti itu. Sesuai dengan fitrahnya, manusia selalu lupa. Oleh karena itulah saya menyadari bahwa saya mesti belajar. Belajar menjadi orang tua.

Menatap makhluk mungil didepan saya -rambutnya yang mirip ayahnya, mata dan hidungnya sudah pasti itu mirip saya- membuat saya kehilangan kata-kata. Apakah begini rasanya memiliki sesuatu yang sangat dicintai tapi tidak selamanya? Apakah begini rasanya mengira mempunyai sesuatu yang merupakan bagian diri ini tapi ternyata tidak ? Harus bagaimana saya kepadanya? Bisakah saya menjadi ibu yang baik baginya? Bisakah saya menjadi tauladannya? Bisakah saya selalu menjadi tempat pelariannya dikala ia sedih? Bisakah saya selalu jadi temannya? Bagaimana kalau ternyata saya kelak mengecewakannya?, menyakitinya?, membuat ia menangis? Bagaimana kalau saya tidak bisa membahagiakannya?

Saya mau berkorban apapun untuk dia. Saya mau lakukan apapun untuk dia. Dan saya tidak akan mau dibalas untuk semua pengorbanan dan semua perbuatan saya itu. Saya ikhlas, saya memang hidup untuknya. Anak-ku, bunda cinta padamu….